Yogyakarta, SenayanTalks – Berbagai unsur pemerintah daerah di DIY, akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta komunitas muda berkumpul di Hotel MM UGM Yogyakarta dalam Sarasehan Kesehatan: Lindungi Kini, Nanti. Forum ini menjadi momentum penting untuk memperkuat komitmen lintas sektor dalam mempercepat implementasi kebijakan pengendalian rokok di daerah, sekaligus mensosialisasikan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Selain itu, acara ini juga membagikan hasil survei pemantauan kualitas udara (Air Quality Monitoring) dan pengelolaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT).
Mewakili Kementerian Dalam Negeri, Dra. Imelda, M.AP, selaku Direktur Produk Hukum Daerah, Ditjen Otonomi Daerah mengingatkan bahwa semangat otonomi daerah bukan hanya soal kewenangan, tetapi juga tanggung jawab. Dalam paparannya, ia menyoroti pentingnya mekanisme pembentukan peraturan daerah (perda) yang partisipatif, berbasis kebutuhan nyata, serta disusun secara harmonis dengan regulasi nasional. “Kebijakan yang baik harus menjawab persoalan daerah, tidak hanya copy-paste dari atas,” tegasnya.
Kemendagri juga menekankan pentingnya penguatan peran pemerintah daerah agar produk hukum daerah tidak terlalu banyak, namun tidak aplikatif. Upaya ini juga sejalan dengan target peningkatan Indeks Kepatuhan Daerah dalam penyusunan dan implementasi Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Dari Kementerian Kesehatan, dr. Benget Saragih, M.Epid, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau , menekankan bahwa PP No. 28 Tahun 2024 menjadi langkah konkret menghadapi lonjakan konsumsi rokok konvensional maupun elektronik, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, DIY tercatat sebagai provinsi dengan prevalensi perokok anak tertinggi kedua di Indonesia. “Enam dari sepuluh anak terpapar asap rokok di rumah, dan satu dari dua anak terpapar di lingkungan sekolah,” ungkapnya.
Lebih lanjut, dr. Benget menyoroti tantangan dalam implementasi KTR yang belum optimal di berbagai daerah. “Kebijakan KTR ini tidak boleh berhenti di level pemerintah pusat saja. Daerah juga harus bergerak aktif, karena ranah implementasinya ada di sana,” tegasnya, seraya mengingatkan bahwa penguatan komitmen pemerintah daerah menjadi kunci keberhasilan regulasi ini.
Pada sesi pemaparan data lapangan, Ni Made Shellasih, dari Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) mempresentasikan hasil survei Air Quality Monitoring di sembilan titik Kawasan Tanpa Rokok di Kota Yogyakarta, meliputi kantor kelurahan, sekolah, puskesmas, hingga restoran. Hasilnya menunjukkan bahwa di beberapa lokasi seperti restoran pusat kota, tingkat PM2.5 bahkan mencapai kategori ‘beracun’. Pelanggaran berupa aktivitas merokok di area KTR, keberadaan asbak, dan penjualan rokok masih ditemukan.
“Bahkan, satu dari empat orang dewasa dan satu dari sepuluh anak di Yogyakarta adalah perokok aktif. Ini jelas alarm keras bagi kita semua,” ujar Shella. Ia juga menegaskan bahwa meskipun titik pengukuran berbeda, grafik pembacaan kualitas udara menunjukkan pola serupa. “Artinya, ketika ada tempat khusus merokok di dalam ruangan, polusi asapnya tetap menyebar ke ruangan lain,” tambahnya.
Melengkapi diskusi, Risky Kusuma Hartono, Ph.D. dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) memaparkan pentingnya penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) secara tepat sasaran. Sesuai regulasi terbaru, 40% dana ini harus dialokasikan untuk bidang kesehatan, termasuk edukasi bahaya rokok, pengawasan KTR, dan layanan berhenti merokok.
Sayangnya, Risky mencatat banyak daerah yang belum memanfaatkan peluang ini secara maksimal. “Ada potensi besar untuk membiayai kampanye anti-rokok yang kreatif dan masif, terutama untuk anak muda. Namun, lemahnya perencanaan dan minimnya koordinasi antar sektor membuat dana ini belum optimal,” jelasnya.
Diskusi lintas sektor yang dihadiri unsur pemerintah pusat, daerah, organisasi masyarakat sipil, akademisi, media, serta komunitas muda ini menyepakati pentingnya: memperkuat regulasi daerah berbasis PP 28/2024, menggalakkan implementasi KTR berbasis data, serta mengoptimalkan pemanfaatan DBH CHT untuk kampanye pengendalian rokok yang inovatif dan berdampak luas.