Search
Close this search box.

Diskusi Buku ‘A Giant Pack of Lies’ Part 2: Selamatkan Anak dari Sasaran Industri Rokok

Yogyakarta, SenayanTalks – Puluhan orang dari unsur masyarakat sipil, mahasiswa, akademisi, jurnalis, aktivis dan sejumlah pejabat pemerintahan mengikuti diskusi publik buku ‘A Giant Pack of Lies Part 2: Kebohongan Besar Industri Rokok’ di Hotel Grand Keisha Yogyakarta, Sabtu (26/4/2025).

Salah satu penulis buku A Giant Pack of Lies Part 2, Novita Sari Simamora mengatakan buku ini merupakan karya tulis kolaborasi sejumlah jurnalis yang telah berpengalaman meliput dan investigasi.

“Prosesnya melakukan liputan di lapangan, melakukan wawancara dengan berbagai narasumber, para regulator, perokok, termasuk perokok perempuan dan lain-lain,” jelasnya dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Jakarta dan AJI Yogyakarta tersebut.

Dijelaskannya, buku ini secara garis besar mengupas mengenai berbagai cara licik industri rokok masuk ke Indonesia. “Mengungkap bagaimana mereka melakukan lobi-lobi ke pemerintah agar cukai tidak naik,” katanya.

Selain itu, lanjut Novita, buku ini juga mengupas bagaimana jebakan industri rokok elektrik melakukan ekspansi pasar. Ironisnya, anak-anak di bawah umur menjadi sasaran rokok ini. Maka tujuan utamanya, kata Novita, adalah menyelamatkan anak dari sasaran industri rokok.

“Siapa sih yang rela melihat anak kecil merokok? Saya tinggal di Bogor, tetangga saya, ada anak umur 6-7 tahun, masih SD, dia menyimpan rokok di dalam kotak pensilnya,” ungkap dia.

Menurutnya, fenomena anak di bawah umur yang terpapar rokok ini sangat memprihatinkan. Maka bagaimana cara mencegah intimidasi industri rokok yang menyasar anak-anak tersebut?

“Jumlah perokok di Indonesia ini ada 70 juta orang (Berdasarkan data The Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2011-2021). Jumlah ini naik 10 juta dari 60 juta orang di tahun sebelumnya. Perokok anak, kita (Indonesia) urutan juara dua di dunia. Jumlah perokok anak di Indonesia ada 7,8 juta orang atau 9,1 persen, naik signifikan dari tahun 2013 sebesar 7,2 persen,” terangnya.

Novita mengaku pernah mewawancarai seorang siswa SMP kelas 3. Saat ditanya sejak kapan mulai merokok, siswa SMP tersebut menjawab ‘mulai merokok sejak kelas enam SD’. “Nggak dimarahi oleh orang tua? Dia jawab; ‘orang tua baru mengetahui merokok saat kelas 3 SMP’. Saat itu ayahnya menemukan sebatang rokok yang disimpan di kotak pensil,” terangnya.

Masih kata Novita, orang tua siswa tersebut juga tidak memarahi anak, karena juga perokok. Latar belakang ekonomi keluarga tersebut termasuk ‘sulit’ atau miskin. Saat akan meneruskan ke jenjang SMA, orang tuanya memberi pilihan: mau meneruskan sekolah dengan catatan tidak merokok, atau bekerja?

“Sedihnya, keputusan yang diambil anak tersebut lebih memilih bekerja atau putus sekolah. Itu adalah narasumber saya yang pertama,” katanya.

Menurutnya, anak-anak usia sekolah yang terpapar rokok ini sangat sulit diawasi. Karena mereka terpengaruh atau ‘coba-coba’ dari pergaulan sehari-hari. Teman, orang tua, paman, om, bahkan guru di sekolah ataupun lembaga pendidikan seperti pesantren, tidak terlepas dari rokok.

“Dari situ anak terpapar untuk coba-coba merokok. Satu dari dua anak telah terpapar rokok. Ini lingkaran setan yang sulit diputus,” katanya.

Terlebih memprihatinkan, lanjut dia, merebaknya fenomena rokok elektrik atau “vape” yang dijadikan gaya hidup. Rokok elektrik ini secara fisik tampilannya terlihat sangat soft dengan warna-warni yang indah.

“Ada yang mirip pulpen, stabilo, dan lain-lain. Tulisannya bisa strawberry, mango, dan seterusnya. Mirip permen. Sehingga orang tua yang tidak update informasi akan sulit melihat masalah ini. Hati-hati, ini barang candu,” ujarnya.

Pangsa pasar vape ini sangat besar di Indonesia. Bahkan dianggap sebagai lifestyle di kalangan remaja maupun anak muda. “Mereka bilang kalau nggak berasap nggak gaul,” imbuhnya.

Salah satu narasumber, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Yayi Suryo Prabandari mengatakan, mengapa rokok sulit dikendalikan di Indonesia karena faktor bisnis.

“Para penggedhe (pemilik) pabrik rokok itu sebagian besar tidak merokok. Saat mereka ditanya, sudah ada wawancaranya juga, merokok itu pilihan, saya memilih tidak. Lho, bapak kok menjual (rokok)?, lha kan itu bisnis,” jelasnya mengutip potongan dialog pernyataan pemilik pabrik rokok.

Selain lifestyle, tidak sedikit orang berdalih bahwa merokok sebagai warisan tradisi budaya nenek moyang. Menanggapi hal itu, Yayi mengutip dari Mark Hanusz, penulis buku Kretek, bahwa praktik merokok pertama kali ditemukan di Amerika Serikat yakni bangsa Indian (1492).

“Saat itu, Christopher Columbus datang di sana diterima dan disambut baik oleh suku Indian. Sebagai tamu, dia disuguhi rokok itu dengan pipa panjang,” katanya.

Oleh anak buah Columbus, lanjut dia, pipa hisap yang panjang itu kemudian dijadikan pendek. Bangsa Eropa datang ke Indonesia membawa pipa hisap pendek tersebut.

“Pipa ini yang dilihat oleh orang kita, kemudian oleh orang Indonesia dicampur cengkih. Nah, yang asli Indonesia adalah cengkihnya ini, yakni ada di Halmahera yang membuat para kompeni datang ke bumi Indonesia,” terangnya.

Rempah-rempah cengkih termasuk tanaman tembakau sangat subur di Indonesia ini, pada waktu itu, lanjut Yayi, lebih mahal dari emas. “Bahkan sebelum perang Diponegoro 1820 sudah ada pabrik rokok di Jawa Tengah. Karena rokok ini memang industri yang menjanjikan,” katanya.

Salah satu peserta diskusi, Eko Prasetyo, dari Sosial Movement Institute (SMI) mengatakan kajian buku A Giant Pack of Lies Part 2 ini penting untuk melawan imperium industri rokok.

“Persoalan rokok tidak bisa dilihat hanya dari aspek kesehatan, tapi ini ancaman keadilan,” katanya.
Menurutnya, membahas persoalan rokok adalah berhadapan dengan kekuatan raksasa. Buku ini cukup jelas menggambarkan situasi yang terjadi.

“Baca di bab awal buku ini menarik sekali, bagaimana mantan-mantan dirjen menjadi komisaris perusahaan rokok, jubir jadi komisaris perusahaan rokok,” katanya.

Dia sendiri mengaku pernah melakukan riset tentang industri rokok. “Ada banyak orang kementerian yang kemudian menjadi komisaris perusahaan rokok. Yang dulu, mereka ini ikut bikin aturan. Ini kan ironis sekali,” ujarnya.

Tentu saja, lanjut dia, tidak mudah melepaskan cengkeraman dari kekuatan raksasa tersebut. Bahkan rokok menjadi salah satu penyumbang pajak terbesar di Indonesia.

“Karena itu, menurut saya, taktik untuk melawan perusahaan rokok tidak bisa hanya menyandarkan advokasi semata, tapi (perlu) mobilisasi politik. Karena menghadapi imperium di atas rata-rata,” ungkapnya.

Artikel Terkait