Search
Close this search box.

Nasib Buruh Indonesia di 2025: PHK Massal, Krisis Perlindungan, dan Ancaman bagi Pekerja Migran

Jakarta, SenayanTalks – Peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 2025 berlangsung di tengah krisis multidimensi yang melanda sektor ketenagakerjaan Indonesia. Di saat pemerintah menjanjikan penciptaan jutaan lapangan kerja melalui Omnibus Law Cipta Kerja dan narasi bonus demografi, kenyataan di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Ribuan buruh mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), perlindungan pekerja semakin melemah, dan masa depan buruh Indonesia semakin suram.

Kondisi ini diperburuk oleh efek domino dari kebijakan proteksionis global seperti tarif perdagangan yang dipicu oleh pemerintahan Donald Trump. Di dalam negeri, program populis seperti Makan Bergizi Gratis menyebabkan efisiensi anggaran besar-besaran, yang justru melemahkan sektor riil dan sektor jasa.

“Kelesuan ekonomi ini telah berdampak langsung pada lapangan kerja, menurunkan daya beli, dan meningkatkan angka pengangguran,” kata Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo.

APBN pun menanggung beban berat. Pada triwulan pertama 2025, utang luar negeri telah membengkak hingga Rp250 triliun, mencerminkan tekanan fiskal yang parah.

Dalam situasi ketidakpastian ini, muncul gerakan sosial bertagar #KaburAjaDulu, mencerminkan meningkatnya frustrasi anak muda terhadap masa depan Indonesia. Mereka merasa tidak memiliki ruang yang cukup untuk mengekspresikan kritik maupun aspirasi karena semakin menyempitnya ruang kebebasan sipil.

Revisi UU TNI yang menimbulkan kontroversi pun dibalas dengan intimidasi terhadap kelompok sipil yang menolak. Legislasi yang berpihak kepada oligarki juga semakin mempersempit partisipasi publik.

Nasib pekerja migran Indonesia juga tidak lebih baik. Kebijakan efisiensi anggaran memangkas dukungan publik untuk advokasi dan pemberdayaan pekerja migran. Alih-alih memperkuat pelindungan, kebijakan yang diinisiasi Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia justru fokus pada peningkatan remitansi dengan target penempatan 425.000 pekerja migran per tahun

“Pekerja migran bukanlah komoditas. Negara harus mengedepankan hak asasi dan bukan semata-mata nilai remitansi,” tegas Migrant CARE.

Kondisi ini diperburuk dengan meningkatnya kasus perdagangan manusia dan penipuan online di Kamboja, Myanmar, dan Laos. Ratusan anak muda Indonesia terjebak dalam jaringan kejahatan digital dan kriminal paksa (forced criminality), sementara 157 pekerja migran Indonesia saat ini menghadapi ancaman hukuman mati di luar negeri.

Migrant CARE juga mengkritisi upaya pemerintah mencabut moratorium pengiriman pekerja migran ke Arab Saudi, meskipun negara tersebut belum memenuhi standar hak asasi pekerja. Sikap ini bertentangan dengan ratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Pekerja Migran dan komitmen terhadap Global Compact for Migration.

Artikel Terkait

Berita Sebelumnya