Kathmandu, SenayanTalks – Gerakan masyarakat adat #SaveAru dari Kepulauan Aru, Maluku, Indonesia, meraih penghargaan bergengsi dari Right Resources International (RRI) atas dedikasi luar biasa dalam melindungi pulau-pulau kecil dan ekosistem hutan tropis dari ancaman eksploitasi. Penghargaan ini diserahkan pada pukul 18.00 waktu Kathmandu dalam forum masyarakat adat se-Asia.
Penghargaan diterima oleh Mika Ganobal dan Mama Ocha Gealogoy, dua tokoh masyarakat adat Aru yang aktif melindungi lingkungan hidup dan sumber daya alam di wilayah mereka. Penghargaan ini menjadi pengakuan internasional atas peran strategis masyarakat adat sebagai penjaga ekosistem berkelanjutan.
Kepulauan Aru terdiri dari lebih dari 832 pulau kecil dengan luas daratan mencapai 800.000 hektare. Kawasan ini telah lama menjadi target eksploitasi sumber daya alam melalui konsesi perkebunan, tambang, hingga proyek karbon skala besar.
Menurut Mika Ganobal, hutan dan laut Aru bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan ruang hidup sakral yang dijaga melalui tata kelola adat, sistem “mata belang”, dan relasi spiritual yang diwariskan secara turun-temurun. “Kami bukan menolak pembangunan, tapi menolak perampasan dan pengabaian hak kami,” tegas Mika.
Pengakuan perempuan adat
Mama Ocha Gealogoy, perempuan adat dari Desa Marfenfen, turut menerima penghargaan mewakili suara perempuan Aru. Ia menekankan bahwa perempuan adalah pihak pertama yang terdampak kerusakan lingkungan.
“Kalau hutan rusak, laut tercemar, kami perempuan Aru yang pertama merasakan dampaknya. Maka kami yang pertama pula menjaga dan merawatnya,” ujar Mama Ocha.
Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), Mufti Fathul Barri, menjelaskan bahwa Kepulauan Aru telah menghadapi empat gelombang ancaman eksploitasi berbasis lahan, mulai dari eksploitasi perikanan dan hutan (1970–2000), proyek tebu 500.000 ha oleh PT Menara Group (2007–2013), proyek peternakan sapi 65.000 ha oleh Jhonlin Group (2014–2021), proyek karbon 192.000 ha dan reaktivasi izin PBPH-HA PT Wana Sejahtera Abadi 54.500 ha (2022–sekarang).
Namun berkat gerakan #SaveAru, masyarakat berhasil menggagalkan sebagian besar proyek tersebut melalui konsolidasi adat dan advokasi publik.
Mufti menegaskan bahwa keberhasilan masyarakat adat dalam menjaga hutan dan laut tak akan bertahan lama tanpa perlindungan hukum yang jelas. Ia mendorong pemerintah Indonesia untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat sebagai bentuk keberpihakan nyata.
“Pengakuan wilayah adat adalah solusi konkret menjaga hutan tersisa. RUU Masyarakat Adat adalah kunci keadilan ekologis dan perlindungan komunitas adat,” tegasnya.
Kepulauan Aru, dengan lebih dari 75% daratannya masih tertutup hutan alam, membuktikan bahwa tata kelola berbasis kearifan lokal lebih efektif dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dibanding pendekatan eksploitatif berbasis industri.
Masyarakat Adat Aru tidak hanya menjaga ekosistem, tetapi juga menawarkan model konservasi berbasis komunitas yang sejalan dengan agenda global mitigasi krisis iklim dan pelestarian keanekaragaman hayati.
Baca juga :
Rencana Aksi Nasional Konservasi Penyu dan Cetacea Jadi Acuan Nasional
Berburu Gadget dan Makan di Senayan Trade Center