Jakarta, SenayanTalks – Isu yang menghubungkan kebijakan standardisasi kemasan rokok dengan meningkatnya peredaran rokok ilegal kembali menjadi sorotan publik. Menanggapi hal tersebut, Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) menegaskan bahwa anggapan tersebut keliru dan tidak didukung bukti ilmiah.
Ketua IYCTC Manik Marganamahendra menyatakan bahwa kebijakan kemasan polos justru efektif mengurangi daya tarik produk rokok, terutama bagi anak dan remaja, yang menjadi target utama industri tembakau.
“Banyak yang salah kaprah. Desain kemasan bukan pemicu rokok ilegal. Negara-negara seperti Australia, Inggris, dan Prancis telah menerapkan kebijakan ini tanpa peningkatan signifikan peredaran rokok ilegal,” kata Manik dalam keterangannya, Selasa (9/7/2025).
IYCTC mengacu pada studi di Inggris yang menunjukkan penurunan penawaran rokok ilegal setelah kebijakan kemasan polos diterapkan. Di Australia, distribusi rokok ilegal justru menurun dalam beberapa pekan setelah kebijakan diberlakukan.
Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas kebijakan lebih ditentukan oleh pengawasan dan penindakan, bukan bentuk kemasan.
Pengawasan lemah
Manik menegaskan, peredaran rokok ilegal lebih dipicu oleh lemahnya pengawasan hukum, kepemilikan mesin pelinting tanpa regulasi, serta tidak adanya sistem pelacakan distribusi.
“Temuan CISDI menunjukkan rokok ilegal paling tinggi beredar di kota pelabuhan seperti Surabaya (20,6%) dan Makassar (21,4%), bukan di kota-kota yang jauh dari jalur distribusi utama. Ini soal distribusi, bukan kemasan,” tegas Manik.
IYCTC juga menanggapi video seorang kreator muda dengan lebih dari 1,6 juta pengikut, yang menyebut standardisasi kemasan bisa meningkatkan peredaran rokok ilegal.
“Kami hargai komitmennya untuk tidak merokok di depan kamera. Tapi penting untuk meluruskan informasi yang berpotensi menyesatkan publik muda,” ujar Manik.
Ni Made Shellasih, Program Manager IYCTC, menambahkan bahwa narasi soal industri tembakau sebagai penyumbang ekonomi tidak boleh menutupi fakta bahwa beban sosial dan kesehatan akibat konsumsi rokok sangat besar.
Data BPJS Kesehatan menunjukkan peningkatan biaya pengobatan penyakit akibat rokok setiap tahun. Sedangkan Riset CISDI 2021 mencatat konsumsi rokok membebani sistem kesehatan hingga Rp 27,7 triliun pada 2019, setara 92% dari defisit JKN saat itu.
“Kontribusi ekonomi rokok tidak sebanding dengan kerugian kesehatan dan sosial yang ditimbulkannya,” tegas Shella.
Oleh karena itu, IYCTC menyerukan agar kebijakan standardisasi kemasan tetap dijalankan sebagai bagian dari strategi nasional pengendalian konsumsi rokok. Pemerintah juga didorong untuk menguatkan pengawasan distribusi rokok, menerapkan sistem pelacakan (track and trace) nasional, memaksimalkan pemanfaatan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) untuk edukasi dan pengawasan di daerah.
“Kebijakan ini menyangkut masa depan kesehatan masyarakat dan keberlanjutan sistem jaminan sosial kita. Jangan sampai terganggu oleh narasi yang tidak berbasis data,” tutup Shella.
Baca juga :
Penerapan Kawasan Tanpa Rokok Lemah, Remaja Makin Rentan Merokok
Berburu Gadget dan Makan di Senayan Trade Center