Surabaya, SenayanTalks – Indonesia secara resmi telah beralih dari kawasan South-East Asia Regional Office (SEARO) ke Western Pacific Regional Office (WPRO) dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Langkah ini dinilai sebagai strategi penting untuk menjawab tantangan kesehatan yang semakin kompleks dan memperkuat kolaborasi regional.
Perpindahan ini mendapat perhatian dari kalangan akademisi, termasuk Ernawaty, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (UNAIR), yang menyebut bahwa perubahan ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan sistem kesehatan nasional dan peran strategisnya di kawasan Asia Pasifik.
“Bergabungnya Indonesia ke WHO WPRO membawa sejumlah keuntungan. Negara-negara di wilayah ini memiliki sistem kesehatan yang lebih canggih, teknologi mutakhir, serta kebijakan publik berbasis regulasi yang kuat. Ini adalah kesempatan emas untuk membangun kolaborasi dan memperkuat kapasitas nasional,” jelas Ernawaty.
Ernawaty menambahkan bahwa kawasan Pasifik Barat memiliki karakteristik yang beragam dalam hal prioritas kesehatan. Misalnya, Papua Nugini masih fokus pada pengendalian penyakit menular seperti malaria, sementara negara-negara maju seperti Australia dan Korea Selatan lebih fokus pada penyakit tidak menular seperti diabetes dan penyakit jantung akibat gaya hidup.
“Perbedaan ini mencerminkan variasi epidemiologi dan sosial ekonomi. Mengetahui dinamika ini akan membantu Indonesia menyusun kebijakan yang relevan dan meningkatkan kerjasama lintas negara dalam isu-isu kesehatan kompleks,” paparnya.
Salah satu keunggulan WPRO adalah penggunaan Health Information and Intelligence Platform, yang memungkinkan pertukaran data kesehatan real-time antarnegara. Hal ini sejalan dengan program Satu Sehat milik Indonesia yang bertujuan membangun sistem data kesehatan terintegrasi nasional.
Ernawaty menyoroti penerapan kebijakan Nutrient Profile Model di negara-negara WPRO yang membatasi promosi makanan tinggi gula kepada anak-anak dan mewajibkan pelabelan nutrisi yang jelas. Negara seperti Australia dan Korea Selatan telah menerapkan regulasi ini secara ketat.
“Indonesia bisa belajar dari pendekatan negara WPRO dalam pengendalian konsumsi gula. Ini relevan dengan upaya kita melindungi generasi muda dan mengedukasi masyarakat tentang pola makan sehat,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ernawaty menekankan bahwa perpindahan ke WPRO harus diikuti dengan langkah strategis. Indonesia perlu menganalisis perbedaan kebijakan antara SEARO dan WPRO, serta memetakan tantangan kesehatan lintas batas seperti penyakit menular dan perubahan iklim.
“Indonesia punya pengalaman kuat menghadapi pandemi, sukses program imunisasi massal, serta digitalisasi layanan kesehatan. Kini saatnya Indonesia tidak hanya sebagai peserta, tetapi pemimpin kebijakan kesehatan di Asia Pasifik,” tegasnya.
Baca juga :
Standarisasi Kemasan Rokok Bukan Pemicu Maraknya Rokok Ilegal
Berburu Gadget dan Makan di Senayan Trade Center