Search
Close this search box.

Resmi Berakhir, Penyelenggaraan PRJ Dinilai Kehilangan Ruh Kerakyatan

Jakarta, SenayanTalks – Penutupan Jakarta Fair atau Pekan Raya Jakarta (PRJ) 2025 menyisakan sejumlah sorotan tajam dari publik dan kalangan pengawas kebijakan. Jakarta Policy Watch (JPW) menilai ajang tahunan ini sudah jauh melenceng dari semangat awalnya sebagai pesta rakyat, dan mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap pengelolaan PRJ.

“Usai penyelenggaraan PRJ, saatnya BPK mengaudit total tata kelolanya. Mulai dari pembagian keuntungan, kontrak kerja sama, hingga struktur pengelolaan. Pemprov DKI wajib menyampaikan hasilnya secara terbuka kepada publik,” tegas Aznil Tan, Direktur Eksekutif Jakarta Policy Watch (JPW) di Jakarta, Senin (14/7).

Aznil menegaskan bahwa audit menyeluruh penting karena PRJ adalah program resmi Pemprov DKI Jakarta dalam rangka memperingati hari jadi ibu kota. Namun menurutnya, perayaan yang mengatasnamakan rakyat ini justru lebih banyak memberikan keuntungan bagi korporasi besar dibandingkan masyarakat umum, terutama pelaku UMKM dan komunitas kebudayaan lokal.

“Kalau agenda resmi pemerintah dibiarkan tanpa audit, itu namanya pemerintah korup. PRJ harus kembali pada ruh awalnya—tempat bagi UMKM dan seniman lokal, bukan hanya panggung elite,” tegas Aznil.

Sarat monopoli

JPW menyoroti bahwa PRJ selama ini dikuasai oleh PT Jakarta International Expo (JIExpo), yang saham mayoritasnya (87%) dimiliki oleh kelompok usaha Murdaya Poo. Sementara Pemprov DKI hanya memiliki sekitar 13% saham.

“PRJ dikuasai satu entitas yang mengendalikan lahan, manajemen, hingga aliran sponsor. Unsur monopoli sangat nyata. Pertanyaannya, apakah monopoli resmi kini dilindungi negara?” kata Aznil.

Ia juga mengingatkan bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sudah pernah mengeluarkan pernyataan pada 2009 tentang adanya indikasi praktik monopoli dalam penyelenggaraan PRJ. Namun hingga kini, belum ada langkah korektif yang nyata.

JPW menegaskan pentingnya evaluasi kontrak eksklusif antara Pemprov DKI dan JIExpo. Aznil menyebut penguasaan ini bak kontrak abadi yang tidak pernah tersentuh audit publik.

“Menggunakan nama ‘Jakarta’ dan mengatasnamakan rakyat tapi tak bisa diaudit? Ini bentuk kooptasi simbolik dan pemiskinan ruang kolektif,” ujarnya.

Ia pun meminta Gubernur Pramono Anung untuk tidak takut melakukan koreksi struktural terhadap pengelolaan PRJ.

“Jangan sampai Gubernur Pramono justru merusak reputasi sendiri karena menutup mata atas praktik yang bertentangan dengan prinsip keterbukaan dan keadilan publik,” kata Aznil Tan.

Dalam pidato pembukaan PRJ ke-43 tahun 2010, Hartati Murdaya, bos JIExpo, pernah menegaskan agar tidak ada pihak yang mengganggu PRJ, dengan dalih bahwa pihaknya tidak menggunakan dana negara dan telah membayar pajak secara rutin.

Namun menurut JPW, klaim tersebut tidak cukup sebagai alasan untuk menghindari audit dan transparansi. Justru karena PRJ membawa nama “Jakarta” dan dilabeli sebagai “pesta rakyat”, maka publik berhak tahu bagaimana tata kelola dan distribusi manfaatnya.

JPW menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa PRJ perlu dikembalikan menjadi panggung rakyat, bukan ajang kapitalisasi ruang kota oleh segelintir elite. Audit menyeluruh dan evaluasi kontrak JIExpo adalah langkah awal untuk mengembalikan kepercayaan publik.

“Jika tak diaudit, Pemprov DKI layak dicurigai menikmati setoran sebagai broker kapitalisasi ruang kota, atau mungkin takut dengan ancaman Hartati,” pungkas Aznil.

Baca juga :
Penyelenggaraan PRJ Harus Dipindah ke Ancol dan Gratis
Berburu Gadget dan Makan di Senayan Trade Center

Artikel Terkait