Search
Close this search box.

Waspadai Kenaikan Biaya Logistik dari Impor Migas Amerika Serikat

Jakarta, SenayanTalks – Rencana pemerintah Indonesia mengimpor minyak dan gas (migas) senilai hingga US$15 miliar dari Amerika Serikat mendapat sorotan tajam. Pengamat energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, meminta pemerintah mempertimbangkan secara matang berbagai risiko, mulai dari biaya logistik tinggi, potensi gangguan stok dalam negeri, hingga dampak geopolitik dengan negara mitra eksisting.

Komaidi menjelaskan bahwa selama ini, sebagian besar impor petroleum oil Indonesia berasal dari Singapura dan Malaysia, sedangkan Amerika Serikat hanya menyumbang US$19 juta pada 2024. Namun untuk petroleum gas, AS memang menjadi pemasok utama dengan nilai US$2,03 miliar pada 2024, naik dari US$1,54 miliar di tahun sebelumnya.

“Jika impor dari AS meningkat drastis menjadi US$15 miliar, tentu ini akan menggeser porsi negara lain, terutama Singapura yang selama ini jadi mitra utama dan juga investor besar di Indonesia,” ujar Komaidi di Jakarta, Rabu (23/7/2025).

Menurut Komaidi, salah satu konsekuensi utama dari peningkatan impor migas dari AS adalah biaya logistik yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh jarak tempuh lebih jauh, yakni 30–40 hari pelayaran dari Texas, dibanding pengiriman dari Timur Tengah atau Afrika yang hanya membutuhkan waktu sekitar 10 hari.

“Pengiriman dari Teluk Meksiko juga berisiko tinggi, yang artinya biaya asuransi akan lebih mahal,” jelasnya.

Jika pengiriman migas dari AS mengalami keterlambatan, maka stok migas dalam negeri yang maksimal hanya mencukupi 23 hari konsumsi bisa terganggu dan berpotensi menyebabkan krisis pasokan.

Rencana peningkatan impor ini, menurut Komaidi, juga harus disesuaikan dengan kapasitas penyimpanan energi di dalam negeri yang masih terbatas.

“Kalau volume impor ditambah secara signifikan tanpa kesiapan infrastruktur penyimpanan, ini bisa menciptakan bottleneck logistik dan risiko strategis lainnya,” tambahnya.

Namun, Komaidi menyebut bahwa rencana ini akan lebih rasional jika harga migas dari AS jauh lebih kompetitif. Alternatif lainnya, Indonesia bisa menjalin kerja sama dengan perusahaan migas AS yang beroperasi di negara-negara tetangga, seperti Singapura, melalui mekanisme sistem swap.

“Kita belum tahu apakah pengambilan migas langsung dari AS atau melalui anak usaha mereka di wilayah Asia Tenggara. Contohnya, ExxonMobil punya operasi besar di Singapura,” ujarnya.

Komaidi menilai, keputusan pemerintah untuk menjajaki peningkatan impor migas dari AS menunjukkan bahwa migas tetap menjadi komoditas strategis dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional, meski berada di tengah tekanan global untuk transisi energi.

“Migas memang dikatakan sunset industry, tapi faktanya masih jadi tulang punggung ekonomi dan diplomasi perdagangan internasional,” pungkasnya.

Pemerintah perlu mengkaji secara menyeluruh rencana impor migas dari Amerika Serikat, termasuk biaya logistik, risiko pasokan, kapasitas infrastruktur, dan dampak terhadap hubungan dagang dengan negara mitra lain. Jika dilaksanakan dengan cermat dan berbasis efisiensi, langkah ini bisa memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus posisi Indonesia dalam geopolitik energi global.

Baca juga :
Eksplorasi Migas di Sorong Papua Barat Daya Dipercepat, Pertamina EP dan RH Petrogas Siap Kembangkan Sumur Baru
Proyek Lapangan Gas Abadi Jadi Kunci Energi Bersih Masa Depan

Artikel Terkait