Jakarta, SenayanTalks — Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mendesak pemerintah untuk segera melakukan pengendalian produksi dan menerapkan standar nasional Environmental, Social, and Governance (ESG) guna menyelamatkan industri nikel dari krisis oversupply dan penurunan harga global.
Menurut laporan lembaga internasional, saat ini lebih dari 50% pasokan nikel dunia berasal dari Indonesia, namun lonjakan produksi ini belum sebanding dengan daya serap permintaan global, khususnya dari sektor baterai kendaraan listrik dan stainless steel. Kondisi ini menyebabkan harga nikel global melemah, margin keuntungan menyusut, dan banyak pelaku industri hulu mengalami tekanan berat.
“Kita tidak bisa hanya fokus menambah kapasitas tanpa memperhatikan permintaan. Ini saatnya pemerintah melakukan kontrol produksi dan menyesuaikan arah hilirisasi,” tegas Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Jenderal APNI, dalam pernyataannya di Jakarta.
Data dari FERROALOY mencatat bahwa produksi Nickel Pig Iron (NPI) Indonesia terus meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir, sementara produksi Ferronickel (FENI) relatif stagnan. Hal ini menunjukkan dominasi strategi berbasis volume tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan daya serap pasar secara global.
APNI menilai bahwa ekspansi produksi nikel yang masif tanpa kontrol berisiko memicu siklus boom-bust berkepanjangan yang membahayakan keberlanjutan industri nikel nasional.
“Tanpa intervensi kebijakan yang tepat, industri nikel kita akan terus terjebak dalam ketimpangan antara kapasitas produksi dan permintaan pasar global,” ujar Meidy.
APNI mencatat sejumlah permasalahan utama yang menghambat stabilitas industri nikel saat ini. Di antaranya kelebihan kapasitas produksi smelter (HPAL & RKEF), turunnya harga nikel di pasar global (LME dan SMM), operasional smelter yang merugi, tekanan dari standar ESG internasional, kebijakan RKAB 1 tahun, kenaikan PPN dan royalti, serta regulasi fiskal yang belum adaptif.
Kondisi tersebut berdampak pada penurunan harga jual nikel domestik, ketidaklayakan proyek hilirisasi, kesenjangan antara regulasi dan realitas pasar, ancaman terhadap keberlangsungan industri nasional.
- Sebagai langkah solutif, APNI merekomendasikan beberapa kebijakan penting, antara lain:
- Moratorium ekspansi smelter baru hingga tercapai keseimbangan pasar
- Perpanjangan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) menjadi tiga tahun
- Revisi formula Harga Mineral Acuan (HMA)/Harga Patokan Mineral (HPM) agar mencerminkan biaya nyata dan kondisi pasar
- Penyusunan peta jalan hilirisasi berbasis permintaan global
- Pembentukan standar ESG nasional
- Diversifikasi pasar ekspor dan skema insentif untuk proyek berkelanjutan dan berkualitas tinggi
APNI berharap pemerintah segera mengambil langkah konkrit demi memastikan industri nikel Indonesia tetap kompetitif, berkelanjutan, dan berdaya saing global di tengah dinamika pasar internasional yang semakin menantang.
Baca juga :
APNI Desak RKAB 3 Tahun Dipertahankan Demi Efisiensi dan Kepastian Usaha
Penerapan ESG Jadi Prioritas Utama Keberlanjutan Bisnis Industri Nikel