Jakarta, SenayanTalks — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dijalankan Badan Gizi Nasional (BGN) menunjukkan hasil positif dalam meningkatkan gizi, kesehatan, dan kebiasaan makan anak-anak Indonesia. Kepala BGN, Dadan Hindayana, menyebut program ini tidak hanya bermanfaat bagi anak sekolah, tetapi juga berdampak pada ekonomi lokal dan ketahanan pangan.
“Awalnya target kami 500 Satuan Pelaksana Gizi (SPG), sekarang jumlahnya sudah lebih dari sepuluh kali lipat. Dampaknya langsung terasa di sekolah: anak-anak lebih semangat, tingkat kehadiran meningkat, dan kesehatan mereka membaik,” ujar Dadan dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) bertema “Satu Piring Makan Bergizi Gratis Sejuta Harapan”, Kamis (14/8/2025).
Standar gizi MBG disusun dengan komposisi seimbang yaitu 30% protein, 40% karbohidrat, dan 30% serat serta menyesuaikan selera lokal.
“Di Sukabumi, anak-anak suka daging sapi. Di Banten, lele jadi favorit. Dengan cara ini, makanan habis dimakan dan tidak terbuang,” jelas Dadan.
Data lapangan menunjukkan tingkat kehadiran siswa naik dari rata-rata 70% menjadi 95% sejak program berjalan. Penelitian di salah satu SPG selama setahun juga mencatat peningkatan berat badan, perbaikan hasil tes kesehatan, dan penurunan angka gizi buruk. BGN juga akan melibatkan lembaga independen untuk evaluasi menyeluruh.
BGN membagi pelaksanaan MBG ke dua kategori: wilayah aglomerasi melalui mitra, dan wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) bekerja sama dengan Kemendagri. Saat ini terdapat 5.305 SPG aktif, dengan 18 ribu penerima manfaat yang masih dalam tahap verifikasi.
“Target kami, verifikasi selesai Agustus ini lalu fokus ke wilayah 3T,” tegas Dadan.
Setiap petugas SPG wajib mengikuti pelatihan 3–4 bulan sebelum bertugas dan mengunggah menu harian di media sosial sebagai bentuk transparansi dan pengawasan publik.
Selain meningkatkan gizi anak, MBG mendorong perputaran ekonomi lokal. Setiap SPG yang melayani 3.000–3.500 peserta membutuhkan pasokan harian sekitar 200 kg beras, 3.500 butir telur, 350 ekor ayam, 3.500 ekor lele, dan 450 liter susu.
“Satu SPG mengelola anggaran sekitar Rp10 miliar per tahun, 85% untuk bahan baku, dan 90% dari pertanian lokal. Uangnya berputar di desa, tidak keluar daerah,” ungkap Dadan.
Dengan pasokan pangan dari petani, peternak, dan nelayan setempat, distribusi lebih cepat, harga stabil, dan pasar terjamin setiap hari.
“Ini bukan sekadar memberi makan anak, tapi juga memastikan petani sejahtera, nelayan punya pasar, dan pangan kita aman. MBG adalah investasi ganda: gizi dan ekonomi,” tutupnya.
Baca juga :