Search
Close this search box.

Gagal Bikin Sejahtera Rakyat, Koalisi Minta Revisi Total UU Kehutanan 41/1999

Jakarta, SenayanTalks – Di tengah peringatan 80 tahun kemerdekaan RI, Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi UU Kehutanan mendesak Panitia Kerja (Panja) revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan untuk membuka proses legislasi secara transparan dan partisipatif.

Koalisi menilai revisi UU Kehutanan selama ini berlangsung tertutup, minim partisipasi publik, dan berpotensi melanggengkan praktik hukum kolonial yang keliru menafsirkan Hak Menguasai Negara (HMN).

Arif Adi Putro dari Indonesia Parliamentary Center menegaskan, tiga kali konsultasi revisi UU Kehutanan yang digelar Komisi IV DPR, dua di antaranya berlangsung tertutup tanpa dokumentasi publik.

“Publik tidak tahu apa yang dinegosiasikan dengan asosiasi pengusaha. Draf RUU pun tidak dibuka, sementara forum dengan masyarakat sipil sangat terbatas. Proses legislasi ini jauh dari prinsip keterbukaan,” kata Arif.

Koalisi menolak jika revisi UU Kehutanan tiba-tiba disahkan tanpa partisipasi publik karena dikhawatirkan rakyat, termasuk masyarakat adat, bisa kehilangan kebun, rumah, dan hutan mereka yang sepihak diklaim sebagai kawasan hutan negara.

Hukum kolonial harus dihapus

Rendi Oman Gara dari Perkumpulan HuMa menyebut revisi UU Kehutanan harus menghapus jejak kolonialisme dalam tata kelola hutan Indonesia.

“Penjajahan atas rakyat bermula ketika kolonial merebut hutan dan menetapkannya sebagai milik negara. Model ini masih terlihat sekarang ketika negara mengklaim kawasan hutan sebagai miliknya dan melarang rakyat hidup di dalamnya,” tegas Rendi.

Menurutnya, pasal 33 UUD 1945 menegaskan HMN hanyalah mandat dari rakyat, sehingga tidak boleh diposisikan lebih tinggi daripada hak bangsa.

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, menilai selama 26 tahun implementasi UU Kehutanan justru menyingkirkan rakyat dari sumber kehidupannya.

“UU Kehutanan gagal memerdekakan rakyat, justru melanggengkan obral izin dan konsesi besar kepada korporasi. Akibatnya, rakyat tersingkir dari tanah dan sumber penghidupan,” tegasnya.

Data Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan, 65,26 persen daratan dan perairan Indonesia diklaim sebagai kawasan hutan negara, dengan deforestasi rata-rata 2,01 juta hektare per tahun pada periode 2017–2023.

“Konsep HMN dalam UU Kehutanan mirip domein verklaring era kolonial Belanda yang merampas tanah rakyat. Sementara deforestasi terus meluas dan hak rakyat tetap diabaikan,” jelas Tsabit Khairul Auni dari FWI.

Sementara itu, Peneliti Madani Berkelanjutan, Sadam Afian Richwanudin, mencatat pada 2024 Indonesia kehilangan 216 ribu hektare hutan dan 115 ribu hektare di antaranya terbakar, termasuk lahan gambut.

“UU Kehutanan gagal melindungi hak rakyat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” ujarnya.

Senada, Nora Hidayati dari HuMa menyoroti lemahnya fungsi pengawasan dalam UU Kehutanan yang justru membuat rakyat semakin jauh dari akses agraria.

Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan, peringatan kemerdekaan ke-80 harus menjadi momentum revisi total UU Kehutanan dengan paradigma baru yang menjamin keadilan agraria-ekologis, pengakuan hak masyarakat adat, serta partisipasi publik yang bermakna.

“Kemerdekaan sejati berarti rakyat terbebas dari konflik agraria, kemiskinan, dan perampasan ruang hidup. Negara harus memastikan hutan kembali menjadi penopang kehidupan, bukan sekadar objek eksploitasi,” pungkas Koalisi.

Baca juga :

Artikel Terkait