Jakarta, SenayanTalks – Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen Indonesia untuk mencapai 100 persen energi terbarukan pada 2035, lima tahun lebih cepat dari target awal 2040. Target ambisius ini dinilai sebagai langkah penting dalam mempercepat transisi energi sekaligus memenuhi komitmen iklim global.
Namun, aktivis energi mengingatkan bahwa transisi menuju energi bersih tidak boleh sekadar berfokus pada pergantian sumber energi. Prinsip keadilan sosial, partisipasi masyarakat lokal, serta perlindungan lingkungan harus menjadi inti dari kebijakan energi.
“Dorongan menuju 100 persen energi terbarukan tidak boleh menciptakan gelombang ekstraktivisme hijau yang daya rusaknya sama dengan energi fosil. Transisi energi harus berbasis keadilan, demokratis, dan regeneratif,” tegas Beyrra Triasdian, Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia.
Beyrra menambahkan laporan terbaru Trend Asia dan Recourse bertajuk “Mengandalkan Energi Terbarukan” menekankan perlunya keterlibatan aktif masyarakat lokal, kelompok marjinal, perempuan, dan anak muda dalam proyek energi terbarukan. Pendekatan ini diyakini mampu meminimalisir pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan sekaligus meningkatkan manfaat sosial dan ekonomi.
Prinsip transisi adil ini diharapkan juga tercermin dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Kedua, yang tengah disusun pemerintah menuju COP30 di Brasil, November 2025.
“Komitmen pelibatan masyarakat tidak boleh hanya menjadi jargon di dokumen internasional, tapi diwujudkan nyata di lapangan,” lanjut Beyrra.
Emisi dan pendanaan
Indonesia perlu menekan 459 juta ton CO2e dari sektor energi, kehutanan, limbah, pertanian, dan kelautan. Sektor energi menyumbang 55 persen dari total emisi nasional, sehingga menjadi kunci dalam upaya dekarbonisasi.
Beyrra mengingatkan agar pemerintah tidak terjebak pada proyek yang justru memperpanjang umur energi fosil, seperti co-firing biomassa di PLTU, Carbon Capture and Storage (CCUS), serta pasar karbon, yang berpotensi menambah utang negara dan merugikan masyarakat rentan.
“Biaya energi terbarukan kini lebih kompetitif dibanding energi fosil. Melanjutkan energi fosil hanya akan mengunci masyarakat rentan dalam kemiskinan dan paparan polusi,” tegasnya.
Secara global, dibutuhkan USD 4 triliun untuk transisi energi. Namun, negara berkembang (kecuali Tiongkok) hanya menyumbang sekitar 15 persen dari belanja energi bersih global, mencerminkan ketimpangan pendanaan yang besar.
Presiden COP30, André Aranha Corrêa do Lago, dalam surat terbukanya juga menyerukan transformasi pendanaan iklim agar lebih cepat dan efisien. Targetnya, dana sebesar USD 1,3 triliun dapat mengalir ke negara-negara rentan untuk mendukung percepatan energi terbarukan.
“Negara berkembang harus punya posisi setara dalam forum iklim global. Pemerintah Indonesia perlu merevisi kebijakan energi fosil jika serius ingin mencapai 100 persen energi terbarukan,” tutup Beyrra.
Baca juga :