Jakarta, SenayanTalks – Krisis iklim yang kian terasa di berbagai daerah membuat masyarakat sipil mengambil langkah nyata. Pada hari kedua Indonesia Climate Justice Summit (ICJS) 2025, Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) secara resmi meluncurkan Naskah Akademik (NA) RUU Keadilan Iklim.
Dokumen setebal 300 halaman ini merupakan hasil konsultasi rakyat di 14 daerah dengan melibatkan delapan kelompok rentan: perempuan, penyandang disabilitas, buruh, masyarakat miskin kota, nelayan, petani, masyarakat adat, hingga anak muda. Kehadiran NA RUU Keadilan Iklim ini diharapkan menjadi dasar kuat agar DPR segera membahas RUU Keadilan Iklim dalam Prolegnas 2026.
Direktur Eksekutif ICEL sekaligus perwakilan ARUKI, Raynaldo G. Sembiring, menegaskan bahwa hingga kini Indonesia masih belum memiliki regulasi yang benar-benar menjawab krisis iklim.
“Undang-undang yang ada saat ini hanya fokus pada nilai ekonomi karbon dan perdagangan karbon. Padahal kelompok rentan menghadapi dampak langsung dari ketidakadilan iklim. Karena itu kami menamakan inisiatif ini RUU Keadilan Iklim, bukan sekadar pengelolaan perubahan iklim,” tegas Raynaldo dalam konferensi pers di Jakarta.
Menurutnya, istilah pengelolaan perubahan iklim yang digunakan DPR selama ini lebih menekankan aspek teknis semata, padahal krisis iklim harus dilihat sebagai persoalan keadilan sosial.
Isi NA RUU Keadilan Iklim merekam langsung kebutuhan masyarakat di akar rumput. Di antaranya masyarakat miskin kota menuntut pengakuan kampung kota dan jaminan hunian layak. Nelayan yang meminta perlindungan ruang tangkap dari abrasi dan banjir rob. Petani yang mendesak perlindungan sosial serta penghentian praktik perampasan tanah. Perempuan yang menyoroti beban berlapis akibat dampak iklim.
Selain itu, terdapat penyandang disabilitas yang menuntut adanya data yang inklusif, aksesibilitas, dan jaminan sosial adaptif serta buruh yang berharap tidak menjadi korban tak terlihat dari transisi energi.
“RUU Keadilan Iklim lahir dari suara rakyat. Kelompok rentan ingin dilibatkan, bukan hanya menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak,” ujar Raynaldo menambahkan.
ARUKI menilai perjuangan RUU Keadilan Iklim justru sejalan dengan agenda pembangunan pemerintah. RPJMN 2025–2029 melalui Perpres 12/2025 menekankan reformasi tata kelola dana sosial-keagamaan dan sumber daya agar lebih transparan dan partisipatif.
Selain itu, Instruksi Presiden No. 8/2025 juga menugaskan Kementerian Agama serta berbagai kementerian untuk memastikan dana sosial-keagamaan termasuk zakat dan dana lingkungan benar-benar berdampak pada pengentasan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan.
ARUKI berharap DPR dan pemerintah tidak melihat RUU ini sekadar sebagai dokumen hukum, tetapi sebagai landasan demokratisasi filantropi lingkungan dan iklim.
“Dengan RUU Keadilan Iklim, kita bicara soal masa depan. Negara harus hadir melindungi warga dari krisis iklim dan memastikan pembangunan berkeadilan,” tutup Raynaldo.
Dukungan parlemen
Desakan agar DPR segera membahas RUU Keadilan Iklim juga datang dari parlemen. Badikenita Sitepu, Ketua Komite II DPD RI, menegaskan RUU ini penting masuk Prolegnas 2026. Sedangkan anggota DPR RI Syarif Fasha menyebut bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik adalah hak dasar seluruh warga.
Pendapat serupa dikatakan anggota Komisi VI DPR Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka yang menekankan RUU Keadilan Iklim sejalan dengan amanat UUD 1945 untuk menghadirkan keadilan sosial.
“RUU Keadilan Iklim harus menjadi prioritas. Isu iklim bukan hanya lingkungan, tapi menyangkut keberlangsungan hidup rakyat,” kata Rieke.
Hal ini juga mendapat dukungan dari Wakil Ketua Fraksi PKB DPR RI Maman Imanulhaq yang berkomitmen mengawal agar RUU ini segera dibahas maksimal pada 2026.
Baca juga :