Search
Close this search box.

LBH Pers: Gugatan Menteri Amran Bisa Bungkam Kebebasan Pers

Jakarta, SenayanTalks – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menilai langkah Menteri Pertanian Amran Sulaiman menggugat Tempo senilai Rp200 miliar ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mencederai kebebasan pers di Indonesia.

Sidang perdana gugatan perdata tersebut digelar Senin (15/9/2025) dengan agenda pemeriksaan awal. Menteri Amran tidak hadir dalam sidang perdana dan hanya diwakili kuasa hukumnya, Chandra Muliawan. Sementara Tempo hadir melalui pengacara publik dari LBH Pers.

Amran melayangkan gugatan sejak 1 Juli 2025 atas pemberitaan Tempo pada 16 Mei 2025 dengan judul poster “Poles-poles Beras Busuk” yang mengantarkan artikel “Risiko Bulog Setelah Cetak Rekor Cadangan Beras Sepanjang Sejarah”. Artikel tersebut mengulas kebijakan Bulog menyerap gabah petani tanpa memilah kualitas (any quality), yang membuat stok beras mencapai rekor 4 juta ton, tetapi menimbulkan masalah kualitas beras di gudang.

Menurut Amran, pemberitaan itu merupakan perbuatan melawan hukum. Namun, Dewan Pers sebelumnya telah menyelesaikan pengaduan dengan mengeluarkan lima rekomendasi, empat di antaranya ditujukan untuk Tempo.

Rekomendasi Dewan Pers

Direktur LBH Pers, Mustafa Layong, menegaskan Tempo sudah melaksanakan seluruh rekomendasi Dewan Pers dalam waktu 2 x 24 jam setelah menerima dokumen PPR. Perubahan judul poster menjadi “Main Serap Gabah Rusak” juga sudah dilakukan, termasuk permintaan maaf dan moderasi konten.

“Tempo melaksanakan rekomendasi pada 19 Juni 2025, sehari setelah menerima dokumen dari Dewan Pers. Karena itu, tuduhan bahwa Tempo tidak melaksanakan rekomendasi adalah tidak benar,” ujar Mustafa.

Mustafa menilai gugatan Amran Sulaiman sebagai bentuk Unjustified Lawsuit Against Press (ULAP) atau gugatan tidak berdasar terhadap pers.

“Gugatan ini aneh dan mengada-ada, cenderung bertujuan membungkam kebebasan pers yang menjadi syarat penting demokrasi,” katanya.

Menurut LBH Pers, keberatan narasumber terhadap pemberitaan pers seharusnya diselesaikan dengan mekanisme hak jawab atau hak koreksi, bukan dengan gugatan perdata.

Selama lima kali proses mediasi, baik di Dewan Pers maupun pengadilan, Amran disebut tidak pernah hadir. Sebaliknya, pihak Tempo selalu hadir dengan mengirimkan direksi maupun perwakilan hukum.

“Tempo bahkan menawarkan hak jawab berupa wawancara kepada Menteri Pertanian, namun tidak direspons,” tambah Mustafa.

LBH Pers menilai, jika gugatan seperti ini diteruskan, hal itu berpotensi menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers. Sengketa pemberitaan akan mudah dialihkan ke ranah hukum, meski Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah menegaskan bahwa penyelesaian pengaduan dilakukan melalui Dewan Pers.

“Gugatan perdata ini bisa melemahkan kontrol sosial pers terhadap kebijakan pemerintah dan menghambat praktik jurnalisme kritis di Indonesia,” tegas Mustafa.

Baca juga :

Artikel Terkait

Berita Sebelumnya