Search
Close this search box.

Vila Mewah di Pulau Pandar Ancam Ekosistem Komodo

Jakarta, SenayanTalks – Puluhan aktivis dari Aliansi Komodo Memanggil (AKM) berbaris di depan Istana Negara dan Kantor Kementerian Kehutanan, Selasa (16/9/2025). Dengan spanduk besar bertuliskan “Pulau Padar Bukan untuk Dijual”, mereka menyerukan penolakan terhadap rencana pembangunan vila mewah di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo (TNK).

Bagi AKM, proyek pariwisata eksklusif yang digarap PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) bukan sekadar pembangunan biasa, melainkan ancaman langsung bagi keberlanjutan ekosistem Komodo dan status Pulau Padar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.

“Pulau Padar bukan untuk diprivatisasi. Undang-undang sudah jelas melarang praktik semacam ini. Pemerintah harus menghentikan proyek ini sekarang juga,” tegas Astra Tandang, Koordinator AKM dalam orasinya.

Proyek yang ditolak AKM mencakup pembangunan 619 unit vila, restoran, spa, gym, hingga kapel pernikahan dengan konsesi 55 tahun. Dari total lahan 274,13 hektar yang dikuasai, 15,75 hektar di antaranya akan dijadikan bangunan fisik vila.

Padahal, Pulau Padar masuk dalam kawasan konservasi TNK berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 172/Kpts.-II/2000. UNESCO telah berulang kali mengingatkan, pembangunan skala besar yang mengubah lanskap alami bisa mengurangi nilai universal luar biasa (Outstanding Universal Value/OUV) yang menjadi syarat utama status warisan dunia.

“Jika terus dipaksakan, kita bukan hanya kehilangan habitat alami Komodo, tapi juga berisiko dicoret dari daftar warisan dunia,” ujar Astra.

AKM menilai proyek ini sarat ketimpangan. Dengan lebih dari 2.000 jiwa warga lokal hanya mendapat jatah pemukiman 26 hektar, izin PT KWE yang mencapai seperlima luas Pulau Padar dianggap sebagai bentuk ketidakadilan agraria.

Aliansi juga menuding adanya korupsi kebijakan dalam proses perizinan. Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) disebut diberikan tanpa konsultasi publik yang memadai. Nama-nama besar pengusaha dan politisi pun dikaitkan dalam proyek ini, memperkuat dugaan bahwa kepentingan pemodal lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat dan konservasi.

“Ini bukan hanya soal vila, tapi soal bagaimana negara berpihak. Apakah kepada masyarakat dan konservasi, atau kepada pemodal besar?” ucap Astra dalam orasi lanjutan.

Risiko sosial ekonomi

Selain ancaman ekologis, AKM menyoroti risiko sosial-ekonomi yang ditimbulkan. Model bisnis eksklusif yang dikembangkan perusahaan dikhawatirkan akan meminggirkan masyarakat lokal, membuat mereka hanya menjadi penonton di tanah sendiri.

Dampak lain yang dikhawatirkan adalah kerusakan habitat Komodo, hilangnya keaslian lanskap Pulau Padar, serta ketidakadilan sosial yang makin dalam.

Dalam aksinya, AKM mengajukan lima tuntutan utama:

  1. Kementerian Kehutanan segera mencabut izin pembangunan vila di Pulau Padar.
  2. Evaluasi ulang seluruh izin dan zonasi di TNK agar sesuai prinsip konservasi.
  3. Pengakuan hak agraria masyarakat lokal serta keterlibatan mereka dalam pengelolaan pariwisata.
  4. Transparansi dokumen perizinan, termasuk Amdal.
  5. Penghentian monopoli bisnis pariwisata dan dorongan pada model berbasis komunitas yang adil serta ramah lingkungan.

Bagi AKM, pertaruhan dalam kasus Pulau Padar bukan hanya soal pembangunan vila, tetapi tentang menjaga warisan dunia yang diakui UNESCO. Komodo sebagai satwa purba yang hanya ada di Indonesia harus tetap hidup di habitat aslinya tanpa terancam ekspansi bisnis.

“Kalau Pulau Padar berubah menjadi kawasan vila mewah, apa yang tersisa dari keindahan dan nilai sejarahnya? Kita harus memilih, menjaga Komodo untuk generasi mendatang atau menyerahkannya pada investor,” pungkas Astra.

Baca juga :

Artikel Terkait

Berita Sebelumnya