Search
Close this search box.

Krisis Iklim dan Konflik Lahan Picu Naiknya Harga Beras

Jakarta, SenayanTalks – Lonjakan harga beras yang terus terjadi sejak 2022 hingga 2025 kini menjadi alarm serius bagi ketahanan pangan nasional. Ketergantungan Indonesia pada satu komoditas utama membuat sistem pangan semakin rentan, sementara potensi pangan lokal masih terabaikan.

Dalam diskusi media bertajuk Polemik Harga Beras dan Kebijakan Pangan di Tengah Krisis Iklim jelang COP30, ekonom sekaligus Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira Adhinegara menyoroti bahwa perspektif ketahanan pangan Indonesia sejak lama terlalu sempit karena selalu dikaitkan dengan cadangan beras.

“Pemerintah menjadikan beras sebagai indikator ketahanan pangan dengan klaim surplus stok. Faktanya, harga di pasar tradisional justru naik dari di bawah Rp12.500/kg menjadi di atas Rp15.000/kg. Bahkan kebijakan food estate pun tidak menjawab masalah,” jelas Bhima.

Bhima juga menilai kebijakan impor belum efektif. Data menunjukkan, sejak 2012 hingga 2024, impor bahan pangan, produk peternakan, hingga pupuk terus meningkat. “Indonesia terus mengimpor pupuk untuk meningkatkan produksi beras, tapi nyatanya impor pangan juga ikut naik. Artinya ada yang tidak beres dengan kebijakan ini,” ujarnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperkuat tren penurunan produksi. Pada 2021–2023, luas panen padi di Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi justru merosot, sementara permintaan terus naik. Kondisi ini diperparah ketidakpastian iklim pascapandemi.

Produsen dan importir besar

Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRPP) Ayip Said Abdullah menyebut Indonesia menghadapi anomali besar. “Kita adalah produsen beras terbesar, tapi juga importir terbesar. Duitnya tidak kembali ke masyarakat,” katanya.

Ayip juga menyinggung data Global Hunger Index (GHI). Tahun 2022, Indonesia berada di posisi ketiga negara dengan kelaparan tertinggi di Asia Tenggara. Pada 2023, posisinya naik ke peringkat kedua dengan skor 17,6. “Di wilayah timur, kelaparan lebih tinggi dibanding perkotaan,” tambahnya.

Konflik lahan

Sementara itu, Benny Wijaya dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menekankan bahwa dalam lima tahun terakhir, luas baku sawah turun hingga 79 ribu hektare akibat konversi lahan dan konflik agraria.

Menurut BPS, 62% petani Indonesia kini berstatus gurem dengan lahan di bawah setengah hektare, naik dari 14,62 juta rumah tangga tani gurem pada 2013 menjadi 17,24 juta pada 2023. “Petani hanya dijadikan alat produksi, tidak dipikirkan kesejahteraannya, padahal mereka tulang punggung pangan nasional,” kata Benny.

Para ahli sepakat bahwa diversifikasi pangan adalah kunci. Bhima mencontohkan potensi pangan lokal di Sulawesi, Kalimantan, dan Papua sebagai substitusi beras.

“Sebanyak 23.472 desa punya potensi tinggi untuk jadi basis produksi pangan restoratif, yang memberi nilai tambah tanpa merusak alam. Selain itu, 14,88% desa berbatasan dengan laut dan 24,11% desa dengan kawasan hutan, yang bisa dimanfaatkan untuk sumber pangan berkelanjutan,” jelas Bhima.

Benny menegaskan, “Kedaulatan pangan hanya bisa terwujud jika tanah kembali ke petani, pangan lokal diberi tempat, dan kebijakan tidak lagi terpusat pada beras.”

Baca juga :

Artikel Terkait

Berita Sebelumnya