Jakarta, SenayanTalks — Insiden tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali pada Rabu (2/7) malam dinilai sebagai indikasi kegagalan sistem keselamatan pelayaran di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS, Rofik Hananto, yang menyoroti lemahnya pengawasan dan buruknya prosedur keselamatan dalam sistem transportasi laut nasional.
Kapal penyeberangan tersebut diketahui hilang kontak dengan Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) sebelum akhirnya dikonfirmasi tenggelam pada pukul 23.35 WIB. Rofik menegaskan bahwa tragedi ini bukan hanya kecelakaan biasa, melainkan bukti nyata bahwa keselamatan pelayaran belum menjadi prioritas utama.
“Kita berbicara soal pelanggaran serius terhadap UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang menegaskan keselamatan sebagai aspek mutlak dalam angkutan penyeberangan,” ujar Rofik.
Rofik mengkritisi ketiadaan safety induction, penjelasan lokasi jaket pelampung, jalur evakuasi darurat, hingga sekoci penyelamat yang layak. Ia menyebut banyak korban selamat karena secara tidak sengaja menemukan jaket pelampung yang tercecer.
“Ini adalah pelanggaran nyata terhadap regulasi yang berlaku. Tidak adanya pengarahan keselamatan sebelum berlayar merupakan bentuk kelalaian operator,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia juga menyoroti masalah manifes penumpang yang tidak akurat, di mana sejumlah korban tidak tercatat secara resmi. Hal ini dinilai melanggar Pasal 137 UU No. 17 Tahun 2008, yang mewajibkan hanya penumpang terdaftar yang sah diangkut oleh kapal.
“Jika penumpang tidak tercatat dan terjadi kecelakaan, operator wajib bertanggung jawab secara hukum serta memberi kompensasi penuh,” imbuh Rofik.
Desak investigasi
Rofik Hananto juga menyebut bahwa insiden seperti ini telah berulang, seperti tragedi KMP Yunicee pada 2021, yang juga diwarnai dengan kelebihan muatan dan minimnya perlengkapan keselamatan.
“Pengawasan yang longgar, birokrasi permisif, dan operator yang abai telah membentuk rantai kelalaian yang terus memakan korban,” ujar Rofik.
Ia mendesak Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dan Kementerian Perhubungan untuk melakukan investigasi menyeluruh, termasuk mengevaluasi kemungkinan kerusakan struktural, kelebihan muatan, hingga aspek manajerial pelayaran.
Rofik mendorong percepatan digitalisasi manifes penumpang, terintegrasi dengan sistem identitas nasional, agar data penumpang lebih akurat dan mudah dilacak saat terjadi keadaan darurat.
Ia juga meminta revisi aturan teknis turunan UU No. 66 Tahun 2024, agar safety induction menjadi prosedur wajib yang diawasi langsung sebelum kapal diberangkatkan.
“Penegakan hukum tanpa kompromi harus dilakukan terhadap semua pihak yang lalai: mulai dari syahbandar, nahkoda, hingga operator kapal,” tegas Rofik.
Baca juga :
Duka Angkutan Penyeberangan: Sibuk Urus Kewenangan, Lupa pada Tujuannya
Berburu Gadget dan Makan di Senayan Trade Center