Jakarta, SenayanTalks – Keputusan pemerintah membatalkan rencana kenaikan cukai rokok tahun 2026 menuai gelombang kritik. Sejumlah organisasi pemuda yang tergabung dalam Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) bersama ratusan jaringan pemuda dan masyarakat sipil mengirim papan bunga berisi sindiran keras ke Kementerian Keuangan sebagai bentuk protes terhadap Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang mereka juluki sebagai “Menteri Koboi.”
Aksi simbolik tersebut dilakukan sebagai respons atas keputusan pemerintah membatalkan kenaikan cukai setelah mendengar masukan dari industri rokok. Menurut para aktivis, keputusan ini menunjukkan pemerintah lebih berpihak pada kepentingan industri dibanding kesehatan masyarakat.
Ketua Umum IYCTC, Manik Marganamahendra, menyebut julukan “Menteri Koboi” digunakan secara figuratif untuk menggambarkan pemimpin yang berani mengambil keputusan. Namun, ia menegaskan bahwa sikap tegas tidak boleh disalahartikan sebagai kesembronoan dalam mengambil kebijakan publik.
“Kalau jadi menteri koboi silakan, tapi jangan koboi-koboian dengan industri rokok. Harusnya tegas terhadap semua, termasuk tetap menaikkan cukai rokok, bukan malah menunda atau menurunkannya,” tegas Manik.
Ia menyoroti fakta bahwa hampir 6 juta anak Indonesia telah menjadi perokok aktif akibat murahnya harga rokok. Selain itu, penggunaan rokok elektronik di kalangan remaja meningkat drastis dalam satu dekade terakhir. Menurutnya, kenaikan cukai merupakan instrumen efektif untuk mencegah generasi muda terjebak dalam kecanduan dan penyakit akibat rokok.
Rokok rugikan negara dan rakyat
Manik juga memaparkan data kerugian besar akibat konsumsi rokok. Setiap tahun Indonesia kehilangan ratusan juta tahun hidup sehat (QALYs), sementara BPJS Kesehatan mengeluarkan Rp15,6 triliun untuk menanggung penyakit akibat rokok pada tahun 2019. Di sisi lain, keluarga berpenghasilan rendah menghabiskan sekitar 12% pendapatannya hanya untuk membeli rokok, bukan untuk kebutuhan gizi atau pendidikan anak.
Ia mengingatkan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyebutkan bahwa harga rokok seharusnya minimal 70% lebih mahal agar efektif melindungi masyarakat dari bahaya konsumsi tembakau.
“Menunda kenaikan demi ‘dialog industri’ adalah sinyal bahwa kesehatan publik belum menjadi prioritas,” ujar Manik.
Narasi PHK dan rokok ilegal tidak relevan
Terkait alasan Menteri Keuangan yang menyebut kenaikan cukai dapat menyebabkan PHK besar-besaran, Manik menyebut narasi tersebut tidak berdasar. Ia mengutip hasil penelitian yang menunjukkan bahwa efisiensi produksi dan teknologi, bukan tarif cukai, yang paling memengaruhi penyerapan tenaga kerja di industri manufaktur termasuk tembakau.
Advocacy Lead IYCTC, Daniel Beltsazar Jacob, juga menilai alasan soal ancaman rokok ilegal sebagai pembenaran untuk menunda kebijakan tidak tepat. Ia menekankan bahwa perdagangan rokok ilegal lebih disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum dan rantai suplai gelap, bukan tarif cukai yang tinggi.
“Solusinya adalah memperkuat Bea Cukai melalui sistem track and trace dan mengalokasikan DBHCHT secara strategis untuk operasi penertiban di daerah,” kata Daniel.
Daniel juga menyoroti bahwa keputusan pemerintah sudah berdampak signifikan terhadap pasar modal. Saham-saham emiten tembakau seperti GGRM, HMSP, dan ITIC dilaporkan melonjak hingga ratusan persen dalam sebulan terakhir sejak pengumuman pembatalan kenaikan cukai.
“Reaksi pasar ini alarm bahaya. Kalau saham industri rokok melonjak karena cukai tidak naik, artinya mereka sangat diuntungkan. Yang dirugikan adalah masyarakat, terutama anak dan remaja yang akan menanggung beban kesehatan di masa depan,” ujarnya.
Daniel menilai, keputusan ini menunjukkan bahwa perlindungan generasi muda dari bahaya rokok belum menjadi perhatian serius pemerintah.
Baca juga :