Jakarta, SenayanTalks – Neuropati, atau kerusakan saraf tepi (perifer), dapat menimbulkan dampak serius jika tidak terdeteksi sejak dini. Kondisi ini berpotensi menyebabkan penurunan fungsi tubuh, luka kronis, hingga amputasi. Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk memahami gejalanya sedini mungkin.
Peringatan ini disampaikan oleh dr. Yeni Quinta Mondiani SpN, seorang ahli ilmu saraf sekaligus dosen Fakultas Kedokteran IPB University, dalam program IPB Podcast di Kanal YouTube IPB TV. “Neuropati didefinisikan sebagai kerusakan pada saraf,” jelas dr. Yeni.
dr. Yeni menjelaskan bahwa saraf perifer terdiri dari saraf sensorik (perasa), motorik (penggerak), dan otonom (pengatur fungsi tubuh otomatis). Gejala neuropati bervariasi tergantung jenis saraf yang terdampak, namun umumnya diawali oleh gangguan pada saraf sensorik.
Gejala pada saraf sensorik terbagi dua yaitu gejala positif berupa sensasi yang seharusnya tidak ada, seperti rasa digerayangi semut, ditusuk tajam, atau nyeri seperti terbakar. Kedua, gejala negatif berupa hilangnya sensasi, misalnya mati rasa atau kebas.
Jika saraf motorik terganggu, gejalanya berupa kelemahan otot, seperti kesulitan menggenggam atau membuka botol.
dr. Yeni menegaskan bahwa neuropati bukan penyakit tunggal, melainkan sindrom dengan beragam penyebab. “Penyebab utama neuropati perifer adalah diabetes mellitus,” paparnya, memperkirakan bahwa perkembangan dari diabetes menuju neuropati membutuhkan waktu sekitar 3-5 tahun.
Penyebab lain meliputi faktor genetik, efek samping obat-obatan (antibiotik, obat jantung, kemoterapi), kekurangan vitamin (terutama B1, B6, B12, dan E), paparan zat beracun (logam berat, pestisida), serta cedera atau penekanan saraf seperti pada Carpal Tunnel Syndrome (CTS) akibat gerakan berulang. Penyakit autoimun juga dapat menjadi penyebab, di mana sistem imun menyerang sel saraf.
Dokter Yeni menekankan bahwa neuropati tidak hanya menyerang kelompok usia lanjut. “Sekarang banyak sekali kasus diabetes. Bahkan anak-anak umur 20 tahun, usia muda bisa terkena neuropati,” ungkapnya. Mahasiswa dan pekerja kantoran yang terlalu lama menatap layar atau mengetik tanpa jeda juga berisiko tinggi mengalami neuropati akibat tekanan pada saraf.
Masyarakat disarankan untuk segera memeriksakan diri ke dokter jika muncul gejala kebas atau kesemutan mendadak, terutama tanpa faktor risiko. “Kalau tidak ada faktor risiko, tiba-tiba muncul kebas atau kesemutan, harus hati-hati. Bisa jadi gejala stroke atau Guillain-Barré Syndrome,” ujarnya. Bagi individu dengan faktor risiko, pemeriksaan disarankan jika gejala tidak membaik dalam 2-3 minggu meskipun sudah mengonsumsi vitamin saraf.
Pencegahan neuropati sangat penting melalui pola hidup sehat. “Yang pertama pasti nutrisi. Penggunaan alkohol jangka panjang dan merokok itu juga termasuk faktor risiko,” jelas dr. Yeni. Ia menyarankan untuk tidak melakukan aktivitas monoton, seperti mengetik, lebih dari 30-60 menit tanpa jeda, serta melakukan stretching untuk mata, pergelangan tangan, dan pinggang.
Komplikasi neuropati yang tidak tertangani dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup, luka yang tidak terasa (terutama pada penderita diabetes), hingga infeksi parah yang berujung amputasi. Kondisi ini juga dapat memicu gangguan psikologis seperti depresi.
“Cegah neuropati sedari dini, jaga sarafmu, jaga kesehatanmu,” pungkas dr. Yeni.
Baca juga :
Pengendalian Rokok di Indonesia Tertinggal, IYCTC Desak Implementasi Tegas Jelang Hari Anak Nasional 2025
Murbei Layak Masuk Peta Tanaman Obat Nasional