Jakarta, SenayanTalks – Center for Sharia Economic Development (CSED) menggelar diskusi rutin Diskusi Kamisan yang menghadirkan Prof. KH. Ma’ruf Amin, Wakil Presiden RI ke-13, bersama para pakar ekonomi syariah dari berbagai institusi strategis seperti KNEKS, BAZNAS, BWI, BPJPH, dan Bank Indonesia.
Diskusi ini membahas perkembangan pesat sektor ekonomi syariah nasional sekaligus tantangan mendasar yang harus segera diatasi demi mewujudkan sistem ekonomi syariah yang inklusif, berkelanjutan, dan adil.
Prof. Ma’ruf Amin menyoroti capaian positif sektor halal Indonesia yang tumbuh 9,16% pada tahun 2025, lebih tinggi dari tahun sebelumnya, meski di tengah ketidakstabilan global akibat gejolak geopolitik.
“Pertumbuhan sektor halal Indonesia tetap kuat meski dunia tidak dalam kondisi baik-baik saja. Ini menunjukkan fondasi ekonomi syariah kita semakin kokoh,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa kontribusi produk halal Indonesia terhadap pasar global mencapai 80%, sementara aset keuangan syariah nasional kini telah menembus Rp9.252 triliun, dengan pertumbuhan tahunan 5,3%.
Namun, tantangan masih besar. Tingkat literasi keuangan syariah berada di angka 43,4%, tetapi tingkat inklusi stagnan di 13,41%. Prof. Ma’ruf menekankan pentingnya menyampaikan bahwa zakat adalah bagian dari muamalah, bukan hanya ibadah spiritual.
“Zakat itu bukan hanya ibadah, tapi juga bagian dari penguatan sosial ekonomi umat. Literasi dan inklusi harus naik bersamaan,” tegasnya.
Prof. Waryono Abdul Ghofur dari Kemenag RI mengungkap bahwa dari potensi zakat sebesar Rp327 triliun, realisasi hanya mencapai Rp41 triliun, dan yang tercatat resmi bahkan hanya Rp13 triliun. Ia menyebut bahwa mayoritas masyarakat menyalurkan zakat secara langsung ke mustahik, sehingga tidak tercatat secara formal.
“Data yang tak tercatat membuat efektivitas penyaluran zakat sulit diukur dan strategi pengentasan kemiskinan jadi kurang terarah,” ujarnya.
Sementara itu, aset wakaf nasional baru menyentuh Rp3 triliun dari potensi Rp100 triliun, menunjukkan masih minimnya optimalisasi wakaf produktif di Indonesia.
Abdul Syakur dari BPJPH menyebut saat ini terdapat 7 juta produk bersertifikat halal, dengan 90 Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) aktif, termasuk 28 dari luar negeri. Namun, keterbatasan anggaran membuat tantangan sertifikasi semakin kompleks.
Prof. Ma’ruf menegaskan pentingnya menjadikan sertifikasi halal sebagai alat perlindungan umat, bukan hanya teknis regulasi.
“Indonesia tidak boleh hanya jadi pasar halal dunia. Kita harus menjadi produsen utama yang menguasai rantai pasok global,” tegasnya.
Ali Sakti dari Bank Indonesia menyoroti lemahnya integrasi antara pelaku usaha halal dengan lembaga keuangan syariah. Menurutnya, banyak entitas bekerja sendiri-sendiri tanpa ekosistem terpadu.
Sementara itu, Sutan Emir Hidayat dari KNEKS menginformasikan bahwa sudah dibentuk 37 Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS) dan 25 provinsi telah memasukkan ekonomi syariah dalam dokumen RPJPD mereka.
Prof. Bustanul Arifin dari CSED INDEF menyoroti masalah struktural di sektor pertanian. Dengan rata-rata kepemilikan lahan hanya 0,3 hektar, sulit bagi petani untuk sejahtera.
Ia mendorong penggunaan skema bagi hasil berbasis syariah sebagai solusi. Menanggapi hal itu, Prof. Ma’ruf Amin menyatakan banyak lahan tidur dikuasai lembaga dan tidak produktif, dan mendorong pemanfaatannya melalui wakaf produktif.
Mengakhiri diskusi, Prof. Ma’ruf menyampaikan pesan spiritual yang menyentuh. “Hasil adalah urusan Allah. Tapi bergerak adalah kewajiban kita. Jabatan boleh berakhir, tapi perjuangan memajukan ekonomi syariah tidak boleh berhenti,” pungkasnya.
Baca juga :
Pengelolaan Dana Haji Indonesia Butuh Reformasi Kelembagaan dan Diversifikasi Investasi
Berburu Gadget dan Makan di Senayan Trade Center