Jakarta, SenayanTalks — Sejumlah aktivis lingkungan dari berbagai organisasi masyarakat sipil menggelar aksi damai di depan Kedutaan Besar Jepang dan Korea Selatan di Jakarta, menuntut dihentikannya impor wood pellet (pelet kayu) dari Indonesia. Mereka menilai praktik tersebut mempercepat deforestasi dan bertentangan dengan prinsip transisi energi berkeadilan.
Koordinator aksi dari Forest Watch Indonesia (FWI), Tsabit Khairul Auni, menyatakan bahwa penggunaan hutan Indonesia sebagai sumber energi untuk negara lain merupakan bentuk eksploitasi yang merugikan lingkungan dan masyarakat lokal.
“Hutan Indonesia bukan bahan bakar kalian. Setop impor wood pellet dari Indonesia dan hentikan pengrusakan hutan kami,” tegas Tsabit dalam aksi di depan Kedutaan Jepang, Jakarta.
Menurut FWI, Jepang dan Korea Selatan dalam lima tahun terakhir meningkatkan impor wood pellet dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia, untuk memenuhi kebutuhan energi biomassa. Namun, peningkatan ini justru menimbulkan tekanan besar pada hutan alam dan memperparah pelepasan emisi karbon.
FWI menyebut lebih dari 80% impor wood pellet kedua negara tersebut berasal dari hasil deforestasi, bukan dari hutan tanaman atau kegiatan rehabilitasi. “Kebijakan ini telah keluar dari prinsip transisi energi berkeadilan,” ujar Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye FWI.
Selain memperingatkan risiko ekologis, para aktivis juga mengungkap temuan dugaan impor ilegal wood pellet oleh kapal berbendera Filipina, MV Lakas, yang ditangkap Bakamla RI pada Agustus 2024. Kapal tersebut mengangkut lebih dari 10 ribu metrik ton wood pellet tanpa dokumen sah.

FWI menilai keterlibatan Jepang dalam proyek biomassa di Indonesia, seperti melalui Mitsubishi Heavy Industries, Sumitomo Heavy Industries (SHI), dan Ishikawajima-Harima Heavy Industries (IHI), turut memperburuk kondisi hutan. Proyek-proyek itu didukung pembiayaan dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan Nippon Export and Investment Insurance (NEXI).
Aksi ini merupakan bagian dari kampanye global Biomass Action Network (BAN) yang bertepatan dengan International Day of Action on Biomass, 21 Oktober 2025. Aksi serupa digelar serentak di Eropa, Asia Timur, Amerika Latin, dan Oseania untuk menentang kebijakan energi biomassa yang dianggap palsu dan tidak ramah lingkungan.
Perwakilan BAN, Satrio Manggala, menyebut pemanfaatan biomassa kayu oleh Jepang dan Korea Selatan sebagai bentuk “kolonialisme iklim”.
“Mereka mengklaim transisi energi bersih, tapi justru merusak hutan di negara lain. Ini bukan solusi hijau, melainkan krisis baru bagi bumi,” ujarnya.
Dalam pernyataannya, para aktivis menyerukan tiga tuntutan utama:
- Kepada Jepang dan Korea Selatan: hentikan impor wood pellet dari Indonesia dan cabut subsidi energi berbasis biomassa.
- Kepada Pemerintah Indonesia (ESDM dan KLHK): keluarkan biomassa dari kebijakan pengurangan emisi, serta hentikan izin ekspor wood pellet yang bersumber dari hutan alam.
- Kepada masyarakat global: jangan terjebak narasi palsu energi hijau berbasis kayu, dan dukung transisi energi yang berkeadilan tanpa merusak hutan.
Satrio menegaskan bahwa krisis iklim adalah persoalan global, dan praktik eksploitasi hutan Indonesia untuk kepentingan energi negara lain justru memperparah kondisi iklim dunia.
“Jika biomassa masih dianggap solusi, maka kita sedang mempercepat kehancuran ekosistem bumi,” tutupnya.

Baca juga :