Jakarta, SenayanTalks – Kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat yang ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto dan Presiden AS Donald Trump menuai kritik tajam dari kelompok lingkungan hidup. Organisasi Satya Bumi menilai perjanjian ini membuka celah eksploitasi lingkungan, terutama dalam sektor pertambangan mineral kritis seperti nikel.
Dalam kesepakatan tersebut, tarif impor produk Indonesia ke AS akan diturunkan dari 32% menjadi 19%, sementara Indonesia akan memberikan tarif bea masuk 0% untuk produk-produk AS seperti pesawat, BBM, gas, gandum, dan kedelai. Pemerintah menyebut kebijakan ini tidak akan menyebabkan lonjakan impor tak terkendali dan justru akan meningkatkan daya saing ekonomi nasional.
Namun, organisasi Satya Bumi menilai kebijakan ini berisiko tinggi terhadap perlindungan lingkungan hidup dan hak masyarakat adat. Mereka menyoroti bahwa perjanjian dagang ini menyebut rencana Indonesia mencabut pembatasan ekspor untuk semua komoditas industri—termasuk mineral kritis—serta membuka akses penuh kepada AS terhadap komoditas tembaga Indonesia.
“Jargon hilirisasi dan nilai tambah industri mineral kritis menjadi dipertanyakan. Apakah Amerika akan membuka tambang mineral kritis seperti Perancis dengan Eramet-nya?” ujar Manajer Kampanye Satya Bumi, Sayyidattihayaa Afra, Rabu (6/8).
Satya Bumi mencatat bahwa sejak 2020, pemerintah telah tiga kali merevisi Undang-Undang Mineral dan Batubara, yakni UU No. 3/2020, No. 6/2023, dan No. 2/2025, tanpa konsultasi publik yang memadai dan melemahkan perlindungan lingkungan. Mereka menyebutkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel telah menyebabkan deforestasi 75.000 hektar pada 2024, ancaman terhadap 1,2 juta hektar hutan, forced displacement masyarakat adat, polusi air, tanah, dan udara dari logam berat beracun seperti kadmium dan nikel, serta kerusakan pulau-pulau kecil dan hilangnya pengetahuan tradisional masyarakat suku Bajau.
Kritik Terhadap Kolonialisme Hijau
Menurut Satya Bumi, perjanjian ini mencerminkan bentuk baru “kolonialisme hijau”, di mana negara maju seperti AS memanfaatkan kebutuhan energi bersih dengan mengorbankan lingkungan negara berkembang.
“Jika tidak dikawal ketat, perjanjian dagang ini hanya akan menjadi lembaran baru kolonialisme hijau. Pemerintah harus memastikan ekspor nikel Indonesia bebas dari deforestasi dan pencemaran,” tegas Hayaa.
ISaat ini, AS tengah membangun fasilitas pemurnian nikel di Oklahoma melalui perusahaan Westwin Elements, bekerja sama dengan MLB Industrial Australia. Refinery ini dirancang untuk memurnikan 34.000 metrik ton nikel per tahun, meskipun AS belum memiliki tambang nikel sendiri. Satya Bumi mengingatkan agar Indonesia tidak menjadi pemasok mentah tanpa jaminan keberlanjutan.
“Indonesia tidak boleh menukar hutan hujan tropis terakhirnya dengan janji investasi yang mengancam kedaulatan ekologis dan sosial,” pungkas Hayaa.
Oleh karena itu, Satya Bumi mengeluarkan maklumat yang mendesak pemerintah untuk melakukan beberapa langkah taktis yaitu :
- Transparansi rantai pasok nikel
- Audit independen dampak lingkungan
- Partisipasi masyarakat terdampak
- Penegakan UU lingkungan hidup
Baca juga :
Ekspansi Tambang di Hutan Morowali Bikin Habitat Satwa dan Ekosistem Hutan Rusak
DPR Prematur Menolak Ide UU Kehutanan yang Inklusif