Jakarta, SenayanTalks — Pembahasan revisi Undang-Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 di Komisi IV DPR RI menjadi sorotan publik. Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari berbagai organisasi lingkungan dan advokasi hukum mendesak DPR RI menghentikan revisi parsial dan segera membentuk UU Kehutanan baru yang lebih adil dan berpihak pada perlindungan ekosistem serta masyarakat adat.
Dalam konferensi pers daring yang digelar Senin (14/7), juru bicara Koalisi dari Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga menegaskan bahwa UU 41/1999 tidak lagi relevan secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis. UU tersebut dianggap gagal menempatkan hutan sebagai ekosistem hidup yang melibatkan masyarakat adat, biodiversitas, dan fungsi ekologisnya.
“UU Kehutanan saat ini telah mengalami banyak perubahan melalui Perpu, Putusan MK, dan revisi UU lainnya. Sudah saatnya kita mencabutnya dan membuat undang-undang baru yang adil dan kontekstual,” kata Anggi.
Koalisi yang terdiri dari WALHI, AMAN, HuMa, Greenpeace Indonesia, Madani Berkelanjutan, Kaoem Telapak, dan Women Research Institute menilai UU Kehutanan selama ini hanya menguntungkan segelintir pemilik konsesi industri ekstraktif dan melanggengkan konflik tenurial.
Uli Arta Siagian dari WALHI menambahkan, hanya 16 persen wilayah kelola hutan rakyat yang didampingi WALHI mendapat pengakuan formal negara dalam 10 tahun terakhir. Sementara itu, Refki Saputra dari Greenpeace Indonesia menyebutkan 42,6 juta hektare hutan alam dalam kawasan hutan produksi masih terancam deforestasi, bahkan di area yang telah dimoratorium.
“UU Kehutanan yang baru harus memutus praktik monetisasi hutan dan menyelamatkan 90,7 juta hektar hutan alam yang tersisa,” ujar Refki.
Isu iklim dan gender
Peneliti Yayasan Madani Berkelanjutan, Sadam Afian Richwanudin, menyoroti bahwa UU 41/1999 tidak mengakomodasi agenda perubahan iklim, padahal Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement sejak 2016. Ia mendesak agar UU baru melarang segala bentuk pembukaan hutan alam, termasuk untuk Proyek Strategis Nasional (PSN).
Sementara itu, Sita Aripurnami dari Women Research Institute menyoroti dampak UU saat ini terhadap perempuan adat yang terdampak kriminalisasi konflik lahan. Ia menekankan pentingnya memasukkan klausul kesetaraan gender dan perlindungan kelompok rentan dalam UU yang baru.
“UU Kehutanan baru wajib mencantumkan mekanisme afirmatif, data terpilah, dan pelibatan perempuan dalam seluruh proses kebijakan kehutanan,” ujar Sita.
Koalisi merekomendasikan agar proses pembentukan UU Kehutanan baru dilakukan secara partisipatif, transparan, dan sesuai dengan prinsip meaningful participation sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MK No. 91/PUU/XVIII/2020. Mereka juga menyerukan agar UU baru mengubah paradigma negara dari ‘menguasai’ menjadi ‘mengelola’ hutan secara berkelanjutan bersama masyarakat.
Dengan demikian, revisi UU Kehutanan No. 41/1999 menjadi titik balik untuk menciptakan keadilan ekologis, menjamin hak masyarakat adat, menghentikan deforestasi, serta menjadikan hutan sebagai bagian integral dari solusi krisis iklim.
Baca juga :
Masyarakat Sipil Desak Pemerintah dan DPR Buka Draf DIM RKUHAP
Berburu Gadget dan Makan di Senayan Trade Center