Search
Close this search box.

Komitmen Pemerintah Turunkan Emisi Karbon Dinilai Rendah

Jakarta, SenayanTalks — Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Just Coalition for Our Planet (JustCOP) mendesak pemerintah Indonesia untuk memperkuat komitmen penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Mereka menilai kebijakan energi nasional saat ini belum sejalan dengan target iklim global dan justru berpotensi menunda pencapaian puncak emisi karbon hingga tahun 2037, tujuh tahun lebih lambat dari target awal 2030.

Kondisi ini disebut berpotensi menghambat upaya global menahan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5°C, sebagaimana disepakati dalam Perjanjian Paris.

Dalam diskusi daring bertajuk “Nexus Tiga Krisis Planet”, Syaharani, Kepala Divisi Iklim dan Dekarbonisasi Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menyebut bahwa penundaan target emisi tersebut merujuk pada dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024–2060, yang memproyeksikan peningkatan produksi listrik dari PLTU hingga 2037.

Selain itu, Kebijakan Energi Nasional (KEN) masih menyebutkan bahwa 79% bauran energi Indonesia pada 2030 berasal dari energi fosil.

“Dengan proyeksi Business as Usual (BAU), emisi karbon Indonesia pada 2030 justru naik hingga 148% dibandingkan tahun 2010. Tanpa kebijakan pensiun dini PLTU, target penurunan emisi akan sulit tercapai,” tegas Syaharani.

Ia menambahkan, jika Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) 2022 tetap menjadi acuan, maka Indonesia masih akan menghasilkan emisi signifikan yang melampaui ambang batas pemanasan global.

Menjelang Konferensi Para Pihak (COP30) di Brasil pada November 2025, Indonesia belum menyerahkan dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC)—padahal tenggat waktu penyerahan sudah lewat sejak September 2025.

Tri Purnajaya, Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri, mengakui keterlambatan tersebut namun tetap optimistis dokumen SNDC akan segera diserahkan.

“Kita harus realistis. Komitmen iklim Indonesia perlu diselaraskan dengan target pertumbuhan ekonomi 8%. Indonesia bukan satu-satunya negara yang belum menyerahkan SNDC,” ujarnya.

Berpihak pada rakyat

Sementara itu, Torry Kuswardono, Koordinator Sekretariat Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARKI), menegaskan bahwa kebijakan mitigasi iklim seharusnya berpihak pada masyarakat, bukan justru memperburuk kondisi sosial ekonomi warga terdampak.

“Mitigasi perubahan iklim tidak boleh membuat masyarakat semakin lemah. Pemerintah harus melindungi hak atas tanah, mengakui tanah adat, dan memperkuat reforma agraria sebagai fondasi ketahanan iklim komunitas,” ujar Torry, yang juga Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL.

Ia mencontohkan, proyek hilirisasi nikel di Maluku Utara dan Sulawesi Tengah justru memicu konflik agraria dan pencemaran lingkungan. “Perlindungan terhadap kelompok rentan seperti disabilitas, buruh, dan pekerja informal belum terlihat dalam kebijakan iklim nasional,” tambahnya.

Torry juga menyoroti minimnya partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan iklim di Indonesia. “Partisipasi publik sering kali hanya formalitas. Prosesnya tidak transparan—hari ini diumumkan ada konsultasi publik, besok kebijakannya sudah disahkan,” kritiknya.

Ia mendorong agar pemerintah lebih fokus pada proyek mitigasi skala kecil yang inklusif, seperti pemberdayaan komunitas lokal dalam konservasi hutan dan pengelolaan energi terbarukan, ketimbang proyek besar yang berpotensi merusak ekosistem.

“Komunitas lokal lebih tahu kebutuhan mereka. Jangan korbankan hutan demi proyek pangan besar yang justru mengancam biodiversitas,” tegasnya.

Koalisi JustCOP menilai, tanpa revisi kebijakan energi dan penyerahan dokumen SNDC yang ambisius, target Net Zero Emission 2060 akan sulit tercapai. Mereka mendesak agar pemerintah segera menetapkan puncak emisi karbon maksimal tahun 2030, mempercepat pensiun dini PLTU batubara, meningkatkan penggunaan energi terbarukan secara masif, dan menjamin partisipasi publik yang transparan dalam penyusunan kebijakan iklim.

Langkah ini diharapkan dapat memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi global dan menunjukkan keseriusan menghadapi krisis iklim yang kian mengancam.

Baca juga :

Artikel Terkait

Berita Sebelumnya