Jakarta, SenayanTalks — Universitas Paramadina menggelar diskusi panel bertajuk “Koperasi Merah Putih: Menghadapi Realita, Meretas Solusi” pada 11 Juli 2025. Acara ini menghadirkan sejumlah akademisi dan praktisi koperasi nasional yang menyoroti pelaksanaan program Koperasi Merah Putih (KMP) dari berbagai perspektif, mulai dari visi ideologis, tantangan implementasi, hingga potensi risiko kebijakan.
Diskusi yang diinisiasi oleh Universitas Paramadina ini menghadirkan pembicara utama seperti Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Dr. Handi Risza Idris, Wakil Rektor Paramadina, dan Dr. Muhammad Iksan, MM, Dosen Paramadina, dengan moderator Didip Diandra, MBA.
Wakil Rektor Bidang Mutu dan Kerja Sama Universitas Paramadina Iin Mayasari yang membuka acara menekankan bahwa semangat koperasi memiliki keselarasan dengan nilai keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan yang dijunjung Universitas Paramadina.
“Koperasi Merah Putih adalah upaya pemerintah mendorong pengelolaan koperasi yang modern dan profesional melalui dukungan perbankan nasional. Namun tetap harus diantisipasi tantangan nyata seperti tata kelola, kualitas SDM, hingga transparansi,” ujar Iin.
Ketua AKSES Suroto mengkritik tajam kebijakan KMP. Ia menyebut program ini tidak tercantum dalam visi-misi presiden saat Pilpres 2024 dan dinilai bersifat top-down, sehingga rentan menyalahi prinsip otonomi koperasi sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 1992.
“Pemerintah seharusnya menciptakan ekosistem kondusif, bukan justru membangun koperasi lewat instruksi presiden. Hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi masa depan koperasi di Indonesia. Apalagi sebagian besar pengurus KMP bahkan tidak memahami peran mereka,” tegas Suroto.
Ia juga mempertanyakan legalitas kebijakan karena adanya Inpres dan Keppres KMP dengan nomor yang sama (No. 9 Tahun 2025), yang menimbulkan kerancuan hukum.
Sementara itu, Wakil Rektor Universitas Paramadina Handi Risza Idris mengingatkan bahwa koperasi memiliki landasan kuat dalam UUD 1945, khususnya Pasal 33. Ia menyoroti ambisi pemerintah membentuk 80.000 koperasi Merah Putih dan menilai regulasi yang ada belum memadai untuk mengawal program tersebut.
“Tanpa penguatan regulasi, risiko KMP justru akan memperlemah semangat otonomi daerah dan menggandakan kesalahan masa lalu seperti kegagalan Koperasi Unit Desa (KUD),” ungkapnya.
Dosen Universitas Paramadina Muhammad Iksan justru melihat sisi positif dari peningkatan jumlah koperasi berbadan hukum yang signifikan, namun menilai perlu adanya perbaikan dari segi tata kelola dan strategi pembentukan koperasi yang berorientasi pada penguatan kelembagaan, bukan sekadar angka.
“Kita butuh pendekatan bottom-up agar koperasi tumbuh dari kebutuhan masyarakat, bukan instruksi elite. Lebih baik terlambat namun matang, daripada kembali mengulang kesalahan seperti kasus penyalahgunaan dana desa,” ujar Iksan.
Diskusi ini menunjukkan bahwa meskipun Koperasi Merah Putih digagas untuk mendorong pemerataan pembangunan desa dan UMKM, pelaksanaannya harus dibarengi dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Kampus dan akademisi didorong untuk terus melakukan pengawalan kritis demi masa depan koperasi Indonesia yang lebih demokratis, mandiri, dan berkelanjutan.
Baca juga :
ITB Bantu Wisata Raja Ampat Jadi ‘High Quality Destination’
Berburu Gadget dan Makan di Senayan Trade Center