Harus ada langkah berani dan bijak dari pemerintah untuk menertibkan truk berdimensi dan bermuatan lebih. Tentunya dengan memperhatikan dan mempertimbangkan masalah kemanusiaan, sosial dan ekonomi. Perhitungan terkini (Ditjne Bina Marga), sebesar Rp 47,43 triliun setiap tahun pemborosan keuangan negara akibat kerusakan pada jalan nasional, provinsi dan kab/kota .
Overdimension Over-loading (ODOL) menjadi salah satu gambaran buram tentang wajah kondisi angkutan logistik nasional dewasa ini. Kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan truk menjadi salah satu penyebab fatalitas tertinggi kedua setelah kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sepeda motor.
Keberadaan ODOL ini tidak hanya memberikan kerugian materi yang tinggi akibat fatalitas yang tinggi, akan tetapi keberadaan ODOL juga memberikan dampak yang tidak sedikit terhadap kondisi infrastruktur jalan Indonesia
Kondisi ini turut mendorong pemborosan anggaran negara. Perhitungan Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum Tahun 2025, indikasi pemborosan keuangan negara akibat kerusakan jalan pada jalan nasional, provinsi dan kab/kota sebesar Rp 47,43 triliun setiap tahun .
Dari sisi ekonomi, ODOL selain tidak memenuhi standar kawasan perdagangan bebas ASEAN, juga membuat lemahnya daya saing nasional, termasuk salah satu penyebab menurunnya daya saing infrastruktur.
Menurut Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), ada tiga macam kepemilikan kendaraan angkutan barang. Pertama, pengusaha truk yang berbadan hukum (PT dan koperasi), cirinya tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB) plat kuning. Kedua, berbadan hukum bukan pengusaha truk, seperti industri (pabrikan), kontraktor, pengusaha tambang. Ketiga, peorangan tidak berbadan hukum sebagai usaha pribadi. Tidak memiliki banyak armada, biasanya kurang dari lia unit. Cirinya, tanda nomor kendaraan bermotor plat putih.
Korlantas Polri sedang mendata kendaraan truk, hingga 24 Juli 2025, jenis kepemilikan truk oleh pribadi sebanyak 63.786 kendaraan (63 persen) yang kelebihan dimensi 13.261 kendaraan (21 persen) dan kelebihan muatan 50.525 kendaraan (79 persen). Sementara kepemilikan kendaraan truk oleh perusahaan sebanyak 37.822 kendaraan (37 persen) yang terbagi 12.259 kendaraan (32 persen) kelebihan dimensi dan 25.563 kendaraan (68 persen) kelebihan muatan.
Sumber dari PT Jasa Marga (2022), panjang jalan nasional di seluruh Indonesia yang dimanfaatkan oleh perusahaan tambang, kebun, dan industri sepanjang 16.839 km (35 persen dari total jalan nasional 47.604 km). Sebanyak 63 persen angkutan barang yang tergolong ODOL (perusahaan tambang/kebun dan industri)
Mendasarkan data BPS Tahun 2023, persebaran kendaraan angkutan barang di Indonesia, jumlah truk di Indonesia tahun 2023 sebanyak 6.091.822 truk meningkat dari tahun sebelumnya dan sebanyak 49,3 persen berada di Pulau Jawa (576.948 truk berada di Jawa Barat, 782.173 truk di Jawa Timur, 667.136 truk di Jawa Tengah). Sementara di daerah lain sebanyak 316.652 truk di Sumatera Utara, 234.825 truk di Riau, 341.150 truk di Sumatera Selatan, 232.077 truk di Sulawesi Selatan.
Bersumber data dari Polri yang diolah Bappenas (2025), kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan barang sebesar 10,5 persen merupakan kedua tertinggi secara nasional. Peringkat pertama sepeda motor 77,4 persen. Selanjutnya, angkutan orang 8 persen, mobil penumpang 2,4 persen, kendaraan tidak bermotor 1,5 persen dan kendaraan listrik 0,2 persen. Angka kecekaan dan jumlah korban terus bertambah setiap tahunnya dan akan berdampak pada kerugian ekonomi.
Presiden Prabowo Sugiyanto menyerahkan urusan penanganan penuntasan truk ODOL pada Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi Bidang Infrastraktur dan Pembangunan Wilayah.
Setelah mengumpulkan dan berdiskusi dengan sejumlah Kementerian/Lembaga dan kelompok komunitas masyarakat peduli keselamatan (termasuk Masyarakat Transportasi Indonesia/MTI), Kemenko Bidang Infrastraktur dan Pembangunan Wilayah (2025) menawarkan tiga agenda yang akan dilakukan, yaitu (1) pemberantasan prtaktik pungutan liar (pungli) ada ekonsistem angkutan barang, (2) pengaturan peningkatan kesejahteraan pengemudi kendaraan angkutan barang, dan (3) deregulasi dan sinkronisasi peraturan terkait angkutan barang.
Lalu, ada sembilan Rencana Aksi Nasional dan 47 keluaran ( output ) terkait impementasi Zero ODOL dalam Rencana Peraturan Presiden Penguatan Logistik Nasional, yaitu (1) integrasi penguatan angkutan barang menggunakan sistem elektronik, (2) pengawasan, pencatatan, dan penindakan kendaraan angkutan barang, (3) penetapan dan pengaturan kelas jalan provinsi dan kabupaten/kota, serta penguatan penyelenggaraan jalan khusus logistik, (4) peningkatan daya saing distribusi logistik melalui multimoda angkutan barang, (5) pemberian insentif dan disentif untuk badan usaha angkutan barang dan pengelola kawasan industri yang masing-masing menerapkan atau melanggar Zero ODOL, (6) kajian pengukuran dampak penerapan kebijakan Zero ODOL terhadap perekonomian, biaya logistik, dan inflasi, (7) penguatan aspek ketenagakerjaan dengan standar kerja yang layak bagi pengemudi, terutama mengenai upah, jaminan sosial, dan perlindungan hukum, (8) deregulasi dan harmonisasi peraturan untuk meningkatkan efektivitas penegakan Zero ODOL, (9) kelembagaan pembentukan komite kerja untuk mendorong percepatan pengembangan konektivitas nasional sebagai deliveri unit lintas sektor untuk percepatan pengembangan konektivitas dan logistik di seluruh moda transportasi.
Tidak ada solusi yang lahir dari diam di tempat. Meski langkah pertama belum tentu sempurna, itulah yang membuka jalan menuju nyata. Setiap truk besar pun tetap gigi satu untuk mulai berjalan. Begitu pula Solusi ODOL harus dimulai dari langkah pertama, meski jalannya belum mulus (Aptrindo, 2025)
*Djoko Setijowarno , Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat
Baca juga :
Penataan ODOL Harus Berbasis Data dan Komoditas untuk Jaga Stabilitas Sistem Logistik
Penertiban Truk ODOL Harus Sentuh Pemilik Barang dan Armanda