Bandung, SenayanTalks – Sejumlah pakar pengendalian tembakau Indonesia menyampaikan keprihatinan serius terhadap pelaksanaan Asia-Pacific Conference on Smoking and Harm Reduction 2025 yang diselenggarakan di Bandung. Konferensi ini disponsori oleh Center of Excellence for the Acceleration of Harm Reduction (CoEHAR), organisasi asing yang diketahui memiliki hubungan pendanaan dengan industri rokok global seperti Philip Morris.
Konferensi tersebut mengangkat pendekatan “harm reduction” untuk konsumsi tembakau dan nikotin, termasuk rokok elektronik (vape) dan produk tembakau yang dipanaskan (HTP). Para pakar menilai pendekatan ini berisiko mengaburkan arah kebijakan pengendalian tembakau nasional yang selama ini berbasis pada bukti ilmiah dan perlindungan kesehatan masyarakat.
Kiki Soewarso, aktivis Tobacco Control Support Center (TCSC) IAKMI dan dosen komunikasi dari LSPR Institute, menegaskan bahwa narasi harm reduction merupakan bagian dari strategi industri rokok untuk mempertahankan pasar produk adiktif.
“Produk seperti vape dan HTP tetap berisiko bagi kesehatan dan bisa menjadi pintu masuk anak-anak serta remaja untuk mulai menggunakan nikotin,” ungkap Kiki.
Kiki juga mengkritik normalisasi penggunaan vape di ruang publik yang dipromosikan seolah lebih aman dibanding rokok biasa. Padahal, menurutnya, ini merupakan “ilusi kesehatan” yang dibangun industri tembakau demi membuka kembali ruang-ruang yang sebelumnya telah dilindungi dari asap rokok.
Prof. Dr. Eni Maryani, M.Si., Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, juga mengecam framing yang digunakan dalam konferensi.
“Istilah seperti ‘advancing innovation for smoking cessation’ adalah bentuk misinformasi. Inovasi sejati adalah kebijakan berhenti merokok, bukan mengganti dengan produk adiktif lain,” tegas Prof. Eni.
Mouhamad Bigwanto, Ketua Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI), menyesalkan keterlibatan peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam forum yang dianggap berpihak pada kepentingan industri.
“Lembaga negara harus menjaga integritas dan berdiri di pihak perlindungan kesehatan publik, bukan tampil di acara yang jelas-jelas disponsori industri rokok,” kata Bigwanto.
Ia menambahkan bahwa narasi harm reduction sering digunakan untuk melemahkan kebijakan pengendalian tembakau di tingkat kebijakan nasional.
dr. Ahyani Raksanagara, M.Kes, Ketua Umum IAKMI Jawa Barat, menekankan pentingnya menjaga arah kebijakan lokal dan nasional agar tidak dikaburkan oleh agenda industri rokok.
“Kita harus melindungi anak-anak dan remaja dari semua bentuk produk nikotin. Konsep harm reduction justru bisa memperlambat pencapaian target kesehatan masyarakat,” tegas dr. Ahyani.
Para pakar mendesak pemerintah untuk bersikap tegas terhadap intervensi industri rokok, termasuk dalam bentuk konferensi ilmiah semu, dan memperkuat regulasi pengendalian tembakau melalui larangan total iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau baru, edukasi publik tentang bahaya vape dan HTP, serta pengawasan ketat terhadap keterlibatan akademisi dalam agenda industri