Jakarta, SenayanTalks — Presiden Prabowo Subianto resmi memberikan amnesti kepada 1.116 orang dan abolisi kepada Tom Lembong, termasuk amnesti untuk Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Langkah ini menuai kritik tajam dari sejumlah organisasi antikorupsi karena dinilai berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi dan membuka ruang intervensi politik dalam penegakan hukum.
Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia (TII), dan IM57+ Institute menyebut kebijakan tersebut sebagai preseden buruk yang dapat mengancam independensi peradilan dan memperkuat budaya impunitas bagi pelaku korupsi.
Pemberian amnesti dan abolisi untuk terdakwa korupsi yang proses hukumnya belum berkekuatan hukum tetap (inkracht) dinilai sebagai bentuk intervensi politik terhadap lembaga yudikatif. Hal ini dianggap mencederai prinsip checks and balances serta mengganggu proses pengungkapan fakta dalam persidangan, yang semestinya menjadi ruang pembuktian atas dugaan tindak pidana.
“Penutupan kasus sebelum proses pengadilan tuntas menghilangkan potensi pembelajaran publik atas kelemahan sistem birokrasi dan pengawasan,” ungkap pernyataan bersama tiga lembaga tersebut.
Meskipun amnesti dan abolisi merupakan hak prerogatif presiden berdasarkan konstitusi, ketidakjelasan dalam standar teknis pemberian kebijakan ini membuatnya rawan disalahgunakan. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang lebih ketat dalam bentuk undang-undang, agar kebijakan serupa di masa mendatang dapat dilakukan secara transparan, adil, dan akuntabel.
Pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto juga berdekatan dengan momentum Kongres ke-6 PDIP serta pernyataan dukungan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri terhadap pemerintahan Prabowo. Hal ini memunculkan dugaan kuat adanya tukar guling dukungan politik antara elit partai dan istana.
“Presiden seakan menjadikan hak prerogatifnya sebagai alat politisasi untuk meredam konflik politik internal dan eksternal,” ujar koalisi.
Ketiga lembaga antikorupsi tersebut memperingatkan bahwa pemberian amnesti dan abolisi berbasis dugaan politisasi penegakan hukum dapat dimanfaatkan oleh pelaku korupsi lain untuk membangun narasi serupa, demi meloloskan diri dari proses hukum.
Mereka menegaskan bahwa solusi atas masalah hukum yang sarat muatan politik bukan dengan kebijakan politik baru, melainkan melalui penguatan independensi aparat penegak hukum dan pembaruan sistem keadilan yang berintegritas.
Baca juga :
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Naik, Tapi Jeblok di Demokrasi
Ini Cara Prabowo Dongkrak Kualitas Anak Indonesia