Search
Close this search box.

Pelepasan Kawasan Hutan Papua Selatan Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jakarta, SenayanTalks — Solidaritas Merauke menyampaikan protes keras terhadap kebijakan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid dan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, yang dianggap sewenang-wenang melepas hampir setengah juta hektar kawasan hutan di Provinsi Papua Selatan untuk mendukung proyek komersial atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN).

Langkah tersebut dinilai mengabaikan hak-hak masyarakat adat Papua serta tidak memenuhi prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) — persetujuan bebas dan didahului informasi dari masyarakat terdampak.

Kementerian Kehutanan menetapkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 591 Tahun 2025 tertanggal 18 September 2025, yang mengubah status kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 486.939 hektar. Lahan tersebut dialokasikan untuk Proyek Swasembada Pangan, Energi, dan Air Nasional di Papua Selatan.

“Papua bukan tanah kosong. Setiap jengkal tanah dan hutan di Papua dimiliki masyarakat adat berdasarkan norma adat dan tradisi turun-temurun,” tegas Uli Arta Siagian, aktivis WALHI dan anggota Solidaritas Merauke, dalam aksi protes di depan kantor ATR/BPN, Jakarta.

Menurut Uli, keputusan ini dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat yang wilayahnya terdampak, termasuk suku Malind Anim, Makleuw, Khimahima, Yei (Kabupaten Merauke) serta suku Wambon Kenemopte dan Awyu (Kabupaten Boven Digoel).

“Hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya tidak bisa diukur hanya dari dokumen hukum negara. Mereka tidak pernah diajak bicara dan tidak mengetahui keputusan pelepasan hutan ini,” ujar Uli.

Cerminan praktik kolonial modern

Protes ini juga menanggapi pernyataan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid yang sebelumnya menyebut lahan seluas 474 ribu hektar tersebut sebagai “tanah negara tanpa penduduk.”

Pernyataan ini menuai kritik tajam dari Franky Samperante, juru bicara Solidaritas Merauke, yang menilai pendekatan pemerintah mencerminkan pola pikir kolonial lama.

“Pandangan bahwa hutan adalah tanah kosong sama seperti doktrin terra nullius — konsep kolonial yang menganggap tanah tanpa pemilik sah dapat diambil negara. Ini bertentangan dengan konstitusi dan prinsip keadilan,” kata Franky.

Ia juga menilai kebijakan tersebut melanggar Pasal 18B UUD 1945 dan Pasal 43 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, yang mewajibkan negara untuk mengakui dan melindungi hak masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya alam mereka.

Solidaritas Merauke menyoroti proses percepatan penerbitan berbagai kebijakan seperti SK Menteri Kehutanan No. 591 Tahun 2025, Rancangan Perda RTRW Provinsi Papua Selatan, dan pembahasan lintas sektor ATR/BPN yang dilakukan tanpa konsultasi publik bermakna.

“Semua proses ini dilakukan secara kilat dan tertutup, tanpa melibatkan masyarakat adat yang terdampak langsung,” ujar Franky.

Kebijakan tersebut mengubah peruntukan kawasan hutan produksi, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi APL (Areal Penggunaan Lain) untuk berbagai proyek PSN, seperti: pembangunan lahan pangan dan energi, perkebunan kelapa sawit dan tebu, industri bioetanol dan peternakan, fasilitas militer dan industri propelan, serta pembangunan bandara dan dermaga strategis.

Solidaritas Merauke menuntut pemerintah untuk menghentikan seluruh kebijakan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan di Papua Selatan, termasuk revisi RTRW dan pemberian izin usaha baru untuk proyek-proyek PSN yang berpotensi mengorbankan lingkungan dan masyarakat adat.

“Negara wajib menghormati hak hidup, hak atas tanah, dan hak lingkungan masyarakat adat Papua. Kebijakan atas nama pembangunan nasional tidak boleh melanggar konstitusi,” tegas Uli Arta.

Baca juga :

Artikel Terkait

Berita Sebelumnya