Denpasar, SenayanTalks – Tiga perwakilan pemimpin desa dari Luang Barat dan Luang Timur, Kabupaten Maluku Barat Daya, mengikuti kegiatan Sekolah Lapang Konservasi Penyu di Turtle Conservation and Education Center (TCEC), Serangan, Bali. Kegiatan yang berlangsung pada 24–25 Agustus 2025 ini digelar WWF-Indonesia bersama Dinas Kelautan dan Perikanan (KCDKP) GP XI, sebagai upaya memperkuat pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Mdona Hiera, Lakor, Moa, dan Letti.
Kawasan konservasi tersebut telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2022. Perairan ini dikenal sebagai habitat penting berbagai spesies laut dilindungi, termasuk penyu, hiu, pari, dan mamalia laut. Bahkan, Desa Nyama di Pulau Moa diindikasikan sebagai salah satu lokasi peneluran penting bagi penyu.
Kepala KCDKP GP XI, Kristian Tovanste Jan, menjelaskan bahwa sudah ada Peraturan Gubernur Nomor 43 Tahun 2024 tentang Rencana Aksi Daerah Konservasi Penyu yang awalnya difokuskan untuk Pulau Luang, khususnya penyu hijau dan penyu sisik. Namun, ia mengaku belum mengetahui tindak lanjut dari aturan tersebut dan menduga ada kendala teknis di lapangan.
Hasil monitoring WWF-Indonesia periode Juni 2024–Juni 2025 menunjukkan bahwa praktik pemanfaatan penyu masih terjadi di enam lokasi, yakni Pulau Moa, Desa Luang Barat, Desa Luang Timur, Metimarang, Pulau Wekenau, dan Pulau Letti. Temuan ini memperlihatkan ancaman nyata terhadap keberlangsungan populasi penyu di Maluku Barat Daya.
“Konservasi sering disalahartikan hanya sebagai larangan. Padahal, tujuannya untuk mengatur pemanfaatan agar tetap lestari. Karena itu, dibutuhkan langkah strategis dan kerja sama lintas pihak, dari pemerintah, pengelola kawasan, NGO, hingga masyarakat,” jelas Mohammad Budi Santosa, Project Leader Inner Banda Arch Seascape (IBAS) WWF Indonesia.

Belajar konservasi penyu
Selama dua hari, peserta diperkenalkan pada fungsi TCEC sebagai pusat konservasi sekaligus edukasi masyarakat mengenai perlindungan penyu. Materi yang dipelajari antara lain strategi edukasi publik, peningkatan kesadaran, penanganan keterdamparan penyu, serta peluang ekonomi berbasis konservasi.
Peserta juga diajak meninjau langsung fasilitas konservasi, mulai dari area relokasi sarang, tempat rehabilitasi, ruang perawatan penyu terdampar, hingga pantai-pantai peneluran.
Kepala Desa Luang Barat, Paulinus Yoseph Wolonter, menyebut pengalaman di Bali membuka wawasan baru. Menurutnya, penyu di Pulau Luang masih digunakan untuk syukuran dan dikonsumsi. Sedangkan di Bali, penyu lebih sebagai simbol.
“Dari sini kami belajar perbedaan konservasi penyu yang jauh lebih maju,” ujar Paulinus.
Senada, Kepala Desa Luang Timur, Anderson Leha, menambahkan bahwa pengalaman ini akan menjadi bekal penting. Harapannya, ketika kembali ke Maluku Barat Daya, apa yang dipelajari bisa diterapkan secara bertahap sesuai kemampuan desa.
WWF-Indonesia berharap kegiatan ini memperkuat dukungan masyarakat Pulau Luang terhadap upaya konservasi, tidak hanya untuk penyu, tetapi juga seluruh sumber daya laut di Maluku Barat Daya. Dengan bekal pengetahuan baru, para pemimpin desa diharapkan dapat menjadi penggerak perubahan menuju wilayah yang produktif, sejahtera, sekaligus menjaga kelestarian laut secara berkelanjutan.

Baca juga :