Search
Close this search box.

Penerapan Kawasan Tanpa Rokok Lemah, Remaja Makin Rentan Merokok

Surabaya, SenayanTalks — Meskipun hampir 80 persen kabupaten/kota di Indonesia telah memiliki kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), namun tingkat prevalensi merokok nasional, terutama di kalangan remaja, masih tinggi. Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Santi Martini, dr., M.Kes, Guru Besar Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (Unair), dalam keterangannya menanggapi perkembangan pengendalian tembakau di Indonesia.

Menurut Prof. Santi, pengendalian tembakau memang sudah diupayakan melalui berbagai program promosi kesehatan dan advokasi kebijakan. Namun, pelaksanaan di lapangan belum optimal, dan tantangan terbesar saat ini adalah lemahnya implementasi serta pengaruh besar industri rokok terhadap anak muda.

“Secara kuantitatif kita memang cukup baik karena hampir 80 persen daerah sudah punya Perda atau Perkada KTR. Tapi secara implementasi, itu masih jauh dari harapan. Prevalensi perokok di Indonesia masih di atas 20 persen dan perokok remaja justru meningkat,” ujarnya.

Pengaruh iklan rokok

Prof. Santi menyoroti lemahnya larangan terhadap iklan, promosi, dan sponsor rokok (TAPS) sebagai penyebab utama terus meningkatnya jumlah perokok pemula. Ia juga menilai Indonesia masih tertinggal dalam penerapan komponen pengendalian tembakau internasional yang dikenal dengan indikator MPOWER.

“Tantangan kita sangat besar di aspek larangan iklan rokok dan penetapan harga rokok yang mahal. Industri masih sangat aktif menyasar anak muda, apalagi lewat platform digital,” tegasnya.

Rendahnya tarif cukai rokok di Indonesia turut memperparah situasi. Harga rokok yang murah membuat anak-anak dan remaja dengan mudah mendapatkan akses, termasuk terhadap rokok elektrik yang mulai marak.

“Jika ini tidak segera ditangani, maka kelompok perokok pemula akan terus bertambah. Ini sangat mengkhawatirkan karena akan memperparah beban sistem kesehatan nasional,” kata Prof. Santi.

Prof. Santi mengingatkan bahwa penyakit tidak menular (PTM) akibat konsumsi rokok seperti kanker, stroke, dan penyakit jantung sudah menjadi beban besar bagi sistem layanan kesehatan Indonesia.

“Jika tren perokok remaja naik terus, maka anggaran kesehatan yang seharusnya untuk upaya promotif dan preventif akan habis untuk pengobatan penyakit akibat rokok,” jelasnya.

Prof. Santi menyerukan kepada pemerintah agar menerapkan kebijakan cukai rokok progresif dan tegas, disertai pengawasan ketat terhadap distribusi rokok, terutama di wilayah rawan seperti sekitar sekolah dan pusat anak muda.

“Cukai rokok harus dinaikkan secara signifikan dan berkala. Dan yang paling penting, pendapatan dari cukai itu harus dikembalikan ke rakyat dalam bentuk program kesehatan masyarakat,” pungkasnya.

Baca juga :
Jakarta Butuh Perda Kawasan Tanpa Rokok
Berburu Gadget dan Makan di Senayan Trade Center

Artikel Terkait