Search
Close this search box.

PGEO Ubah Panas Bumi Kamojang Jadi Penggerak Ekonomi Sirkular Kopi Berkelanjutan

Kabupaten Bandung, SenayanTalks – Di Kamojang, kopi tak hanya komoditas, melainkan identitas dan mata pencarian utama. Namun, para petani menghadapi tantangan serius seperti proses pengeringan yang lambat, kualitas menurun di musim hujan, serta ketergantungan pada pupuk kimia.

Menjawab masalah ini, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) (IDX: PGEO), memanfaatkan potensi energi panas bumi lokal, memperkenalkan dua inovasi kunci: Geothermal Coffee Process (GCP) dan Geothermal Organic Fertilizer (GeO-Fert). Inisiatif ini menandai tonggak transformasi ekonomi sirkular masyarakat Kamojang berbasis energi bersih.

“Kami percaya energi bersih harus menyentuh kehidupan masyarakat secara langsung, bukan hanya lewat listrik, tapi juga lewat manfaat ekonomi dan sosial yang nyata. Inovasi kami di Kamojang, khususnya dalam hal produksi kopi, membuktikan bahwa pemanfaatan energi bisa memperkuat ketahanan pangan, memperluas peluang usaha, dan mengangkat martabat petani, sambil tetap menjaga lingkungan,” kata Direktur Utama PGE Julfi Hadi.

Sebagai salah satu penghasil kopi arabika unggulan di Jawa Barat, lanjut Julfi, Kamojang memiliki keunggulan lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) pertama di Indonesia. PGE memanfaatkan uap buangan dari PLTP Kamojang untuk Geothermal Coffee Process (GCP). Teknologi yang telah dipatenkan dan tercatat sebagai yang pertama di dunia ini, mempercepat proses pengeringan kopi dari 30-45 hari menjadi hanya 3-10 hari. Proses yang lebih higienis dan konsisten ini menghasilkan cita rasa khas, membuka jalan bagi kopi Kamojang menembus pasar internasional hingga Jepang dan Jerman.

Dampak inovasi ini sangat signifikan. Produksi kopi Kamojang melonjak drastis dari 5 kuintal pada 2018 menjadi 30 ton pada 2024. Penjualan green bean meningkat dari Rp250 juta menjadi Rp560 juta per tahun, sementara roasted bean naik dari Rp120 juta menjadi Rp180 juta. Hal ini berujung pada peningkatan pendapatan petani dan penurunan biaya produksi.

Nono, seorang petani kopi dan mitra binaan GCP Kamojang, bersaksi dengan adanya dry house, proses pengeringan kopi yang biasanya sampai 30 hari kini bisa hanya 8 sampai 12 hari. Rasanya khas, ada aroma buah-buahan yang beda dari yang lain.

Selain kopi, PGE juga mengembangkan GeO-Fert, inovasi yang mengolah limbah pertanian dan rumah tangga menjadi pupuk organik menggunakan uap panas bumi bersuhu 60-70 derajat Celcius. Proses fermentasi yang hanya memerlukan 12 jam ini mampu menghasilkan 28,8 ton pupuk kering per tahun, yang saat ini digunakan oleh lebih dari 160 petani lokal. Teknologi ini mendukung pertanian berkelanjutan yang hemat biaya dan minim limbah.

Program PGE ini telah melewati analisis Social Return on Investment (SROI) yang diverifikasi oleh Universitas Gadjah Mada (UGM), menunjukkan rasio 3,13. Ini berarti setiap Rp1 yang diinvestasikan menghasilkan dampak positif sosial dan ekonomi sebesar 3,13 kali lipat, dengan manfaat program mencapai sekitar Rp367,5 juta per tahun dan diproyeksikan meningkat hingga Rp6,3 miliar.

Secara lingkungan, inisiatif ini berkontribusi pada pengurangan emisi karbon hingga 20.000 ton CO₂ per tahun dan mendaur ulang lebih dari 1,2 ton sampah organik setiap tahunnya. Dengan pendekatan energi bersih dan prinsip zero waste, zero emission, serta zero conflict, program ini menjadi model nyata dari praktik ekonomi sirkular berbasis komunitas.

Inisiatif ekonomi sirkular PGE ini telah diakui berbagai penghargaan bergengsi, termasuk ASEAN Renewable Energy Awards, PROPER Emas dari Kementerian LHK, hingga Platinum Champion BISRA 2024. Ke depan, PGE menargetkan replikasi program ini ke berbagai wilayah kerja lain, sebagai bagian dari visi jangka panjang perusahaan dalam mendukung transisi energi yang adil dan inklusif.

Baca juga :

Inovasi ‘Geothermal Dry House’ Dorong Produksi Kopi Ramah Lingkungan
PLTP Gunung Tiga: Langkah Strategis PGE Capai Target 5,2 GW Panas Bumi Nasional

Artikel Terkait