Jakarta, SenayanTalks – Ketimpangan ekonomi Indonesia kembali menjadi sorotan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2025 mencatat rasio gini di angka 0,375. Sekilas stagnan dalam lima tahun terakhir, namun laporan internasional justru menunjukkan jurang kesenjangan semakin melebar.
World Inequality Report 2022 mencatat, pendapatan 1% penduduk terkaya di Indonesia lebih dari 73 kali lipat dibanding 50% penduduk terbawah. Lebih ironis lagi, kelompok ultra-kaya ini menghasilkan emisi karbon rata-rata 30 kali lebih besar dibanding separuh penduduk terbawah.
Imaduddin Abdullah, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), menilai angka gini Indonesia masih perlu dikritisi. Menurutnya, pengukuran berbasis pengeluaran tidak mencerminkan realitas penguasaan ekonomi.
“Kelompok kaya jarang membuka data penerimaan sesungguhnya, sementara data pengeluaran kelompok bawah justru lebih tinggi proporsinya dari total pendapatan. Akibatnya, kesenjangan riil tidak tercermin dalam data,” jelas Imaduddin.
Ia menambahkan, dibanding Thailand yang berhasil menurunkan ketimpangan, Indonesia justru menghadapi deindustrialisasi dini.
“ICOR kita terus memburuk. Investasi besar tapi output rendah. Banyak indikator tenaga kerja juga memburuk pasca-Covid,” ujar Imaduddin.
Benni Wijaya dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menegaskan, ketimpangan ekonomi tak bisa dilepaskan dari persoalan agraria. Ia mengingatkan kembali semangat Undang-Undang Pokok Agraria 1960 yang menekankan tanah untuk rakyat.
“Negara-negara maju seperti Taiwan menyelesaikan reforma agraria dulu baru melangkah ke industrialisasi. Indonesia sebaliknya, deindustrialisasi dini tanpa pernah menyelesaikan masalah tanah,” kata Benni.
Menurutnya, kebijakan food estate justru memperburuk kondisi petani. “Rata-rata petani kita hanya punya 0,5 hektare. Bukannya dilindungi, justru tersingkir demi proyek pangan skala besar,” tambahnya.
Victoria Fanggidae dari Prakarsa mengkritik struktur pajak yang dinilai regresif. “Penerimaan negara masih didominasi PPN yang membebani rakyat kecil. Tax amnesty justru menguntungkan kelompok kaya. Ini bentuk ketidakadilan fiskal,” tegasnya.
Ia juga menyinggung jebakan utang rumah tangga dan lonjakan pinjaman online. “Bayangkan, pengeluaran Rp3 juta sudah dianggap kelas menengah, padahal masyarakat makin tercekik utang,” jelas Victoria.
Menurutnya, pemerintah memiliki kapasitas fiskal untuk melindungi pekerja informal, tapi minim kemauan politik.
“Dengan Rp4 triliun saja, 20 juta pekerja informal bisa mendapat jaminan kesehatan. Tapi negara lebih memilih belanja alutsista ratusan triliun,” ujar Victoria.
Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia, mengaitkan ketimpangan dengan krisis iklim. Ia menyebut enam dari sembilan batas planet sudah terlampaui.
“Yang paling terdampak selalu kelompok bawah. Di Jakarta misalnya, rakyat yang menanggung biaya kesehatan akibat polusi PLTU batubara,” jelas Ashov.
Ia mendorong kebijakan pajak kekayaan dan pajak polusi. “Kita harus berani melawan dominasi oligarki. Pertanyaannya, transformasi ekonomi kita ke arah mana?” katanya.
Tata Mustasya, Direktur Eksekutif SUSTAIN, menegaskan bahwa eksklusi masyarakat dari proses politik memperparah ketimpangan. Menurutnya, Indonesia menghadapi dilema tiga arah: pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja formal, dan pelestarian lingkungan.
“Kalau salah satu diabaikan, ketimpangan dan krisis ekologis akan semakin parah. Solusinya antara lain pajak batubara, cash for work hijau, dan insentif industri energi terbarukan,” jelas Tata.
Para pembicara sepakat bahwa pertumbuhan ekonomi semu tidak cukup. Jalan keluar ada pada reformasi fiskal progresif, reforma agraria sejati, transisi energi berkeadilan, serta perluasan jaminan sosial.
“Presiden Prabowo perlu membuka ruang kritik agar arah kebijakan benar-benar berpihak pada rakyat,” pungkas Tata Mustasya.

Baca juga :