Search
Close this search box.

Siswa Merokok Ditampar Kepsek, Negara Abai Pengendalian Rokok

Jakarta, SenayanTalks — Kasus penamparan siswa oleh Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, Banten, yang viral di media sosial mendapat sorotan tajam dari tiga lembaga advokasi kesehatan dan hak asasi manusia: PBHI, RUKKI, dan Komnas Pengendalian Tembakau.

Koalisi menilai kasus tersebut bukan sekadar persoalan kekerasan di sekolah, tetapi mencerminkan absennya peran negara dalam pengendalian tembakau dan perlindungan anak.

Peristiwa itu bermula saat kegiatan Jumat Bersih, ketika seorang siswa kedapatan merokok di area kantin sekolah. Kepala sekolah menegur dan menampar siswa tersebut. Meskipun kedua pihak telah berdamai, koalisi menilai akar persoalannya adalah lemahnya pengawasan pemerintah terhadap peredaran dan promosi rokok yang mudah diakses anak-anak.

Ketua Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI), Bigwanto, menyoroti lemahnya penegakan aturan yang justru membuka peluang industri rokok masuk ke dunia pendidikan.

“Sekitar 200 sekolah di Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Putera Sampoerna yang menerima dana dari Philip Morris. Ini jelas melanggar Permendikbud No. 64 Tahun 2015, tetapi dibiarkan. Praktik seperti ini menormalkan rokok di lingkungan pendidikan,” tegasnya.

Koalisi juga menilai pembatalan rencana kenaikan cukai rokok tahun 2026, maraknya iklan rokok di internet, dan belum diterapkannya kemasan standar serta peringatan kesehatan pada produk rokok menjadi bukti lemahnya pengawasan negara.

Anak mudah terpapar iklan rokok

Sekretaris Jenderal PBHI, Gina Sabrina, menyoroti kegagalan pemerintah dalam menegakkan UU No. 17/2023 tentang Kesehatan dan PP No. 28/2024, yang sebenarnya telah melarang iklan rokok di internet.

“Kominfo diberi kewenangan memutus akses situs iklan rokok, tapi sampai sekarang belum pernah dilakukan. Bahkan Kemenkes belum mengeluarkan juknis pengawasan iklan rokok di internet,” ungkap Gina.

Ia menegaskan, kelalaian tersebut membuat anak-anak terus terekspos iklan rokok di dunia digital tanpa perlindungan hukum yang efektif.

Data Tobacco Industry Interference (TII) Index 2025 yang dirilis RUKKI menunjukkan skor Indonesia berada di angka 82, menempatkan Indonesia di posisi ke-8 dunia dengan tingkat intervensi industri rokok tertinggi.

“Sejak 2020, skor ini stagnan di kisaran 82–84. Ini membuktikan campur tangan industri terus menghambat regulasi pengendalian tembakau,” kata Bigwanto.

Lindungi anak dari rokok

Program Manager Komnas Pengendalian Tembakau, Nina Samidi, menilai Pemerintah Provinsi Banten gagal melaksanakan fungsi pengawasan terhadap Kawasan Tanpa Rokok (KTR), terutama di sekolah.

“Pemprov Banten dan Pemkab Lebak lalai melindungi anak-anak. Jika sosialisasi dan pengawasan KTR berjalan dengan baik, kasus ini tidak akan terjadi,” ujarnya.

Banten tercatat memiliki prevalensi perokok tertinggi di Indonesia, mencapai 29,4% pada dewasa dan 9,4% pada anak usia 10–18 tahun, lebih tinggi dari rata-rata nasional.

Koalisi menegaskan bahwa lemahnya implementasi aturan pengendalian tembakau berkontribusi langsung pada meningkatnya jumlah anak perokok di Indonesia.

“Selama pemerintah tidak menyentuh akar persoalan struktural, anak-anak akan terus menjadi korban. Pemerintah seolah membiarkan industri mencari keuntungan di atas penderitaan masyarakat,” tegas Gina.

Koalisi mendesak pemerintah untuk segera menaikkan cukai rokok, melarang penjualan rokok batangan, serta memastikan PP 28/2024 tentang Pengamanan Zat Adiktif benar-benar diterapkan agar anak-anak Indonesia terlindungi dari dampak adiksi tembakau.

Baca juga :

Artikel Terkait

Berita Sebelumnya