Jakarta, SenayanTalks – Meskipun Indonesia mengalami surplus cadangan gas bumi, ketidakseimbangan antara lokasi pasokan dan permintaan (supply-demand mismatch) masih menjadi tantangan besar dalam penguatan sektor energi nasional. Temuan gas bumi yang dominan berada di wilayah timur Indonesia belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan energi di kawasan barat seperti Jawa dan Sumatra.
Hal ini menjadi sorotan dalam diskusi bertajuk Strategi Penguatan Sektor Gas Bumi Indonesia yang diselenggarakan oleh Energy Editor Society (E2S) pada Jumat, 16 Mei 2025 di Jakarta.
“Kita banyak temuan cadangan gas, tapi ada di wilayah timur. Tantangannya adalah bagaimana membawa cadangan gas itu menjadi produksi dan dikirim ke end user di Jawa dan Sumatera,” ujar Ufo Budiarius Anwar, VP Komersialisasi SKK Migas.
Berdasarkan data SKK Migas, pada tahun 2024 penyaluran gas bumi nasional mencapai 5.613,43 BBTUD, dengan pemanfaatan domestik sebesar 60%. Sektor industri menyerap 26,24%, kelistrikan 12,51%, pupuk 12,3%, dan sisanya digunakan untuk kebutuhan LNG domestik, lifting minyak, LPG, BBG, dan jaringan gas (jargas).
Sementara itu, ekspor gas bumi meliputi LNG sebesar 24,17% dan ekspor gas pipa ke Singapura sebesar 6,95%.
“Gas merupakan lokomotif energi Indonesia. Ia sangat relevan dalam mendukung transisi energi, terutama untuk sektor kelistrikan, pupuk, dan city gas,” tambah Ufo.
Proyeksi SKK Migas menunjukkan bahwa kebutuhan gas nasional akan meningkat secara bertahap, dari 5.613 MMSCFD pada 2025 menjadi 6.229 MMSCFD pada 2033, dan sedikit menurun menjadi 5.751 MMSCFD pada 2035. Struktur kebutuhan ini tetap didominasi sektor kelistrikan, industri manufaktur, dan pupuk.
Namun, disparitas wilayah antara sumber pasokan dan pusat permintaan mengancam efisiensi distribusi gas nasional.
Untuk menjawab tantangan pasokan tahun ini, pemerintah melakukan swap gas pipa ke LNG dari wilayah Natuna hingga 25 BBTUD untuk memenuhi kebutuhan domestik, terutama Batam. Strategi ini dimulai 1 Juni 2025.
Selain itu, pengalihan ekspor LNG sebesar 18 kargo telah dilakukan selama Januari–Juni 2025, dan akan dilakukan rescheduling hingga 30 kargo pada periode Juli–Desember 2025 untuk memenuhi kebutuhan nasional.
“Sampai Juni 2025 pasokan aman. Setelah itu kami akan atur ulang jadwal pengiriman LNG dan minta PLN serta PGN untuk menghitung ulang kebutuhan gas,” jelas Ufo.
Rachmat Hidajat, Direktur Perencanaan Strategis dan Bisnis Pertamina Hulu Energi (PHE), menilai kolaborasi antara pemerintah dan BUMN/swasta sangat penting untuk membuka potensi lapangan gas yang saat ini belum optimal (stranded fields).
Sugeng Suparwoto, Anggota Komisi VII DPR RI, menambahkan bahwa tanpa infrastruktur dasar seperti pipa gas, maka akan timbul biaya tambahan, terutama jika mengandalkan LNG.
“Pembangunan pipa seperti proyek Cirebon-Semarang (Cisem) yang kini diambil alih pemerintah menjadi contoh penting. Dari Aceh hingga Jawa Timur bisa terhubung lewat pipa untuk menurunkan biaya distribusi,” tegas Sugeng.
Menurut Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, sekitar 80% cadangan gas nasional berada di Indonesia bagian timur, sedangkan konsumsi terbesar justru ada di barat. Hal ini menyulitkan investasi infrastruktur karena keekonomian pipa gas sulit dicapai jika waktu pengembalian modal terlalu lama.
Solusi logis yang disarankan adalah pengembangan LNG skala kecil, meskipun biayanya lebih tinggi. Oleh karena itu, peran badan usaha, baik BUMN maupun swasta, menjadi sangat krusial dalam percepatan pembangunan infrastruktur gas.
“Badan usaha berperan sebagai mitra strategis pemerintah dalam mendukung hilirisasi gas bumi nasional,” tutup Komaidi.