Jakarta, SenayanTalks – Penyakit pneumonia atau radang paru-paru masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat dunia, terutama bagi balita dan lansia yang memiliki daya tahan tubuh lemah. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penyakit infeksi saluran pernapasan bagian bawah ini menyebabkan peradangan dan penumpukan cairan di paru-paru sehingga penderitanya sulit bernapas.
Menyoroti persoalan tersebut, Muhammad Rheza Firmansyah, mahasiswa peserta program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) di Pusat Riset Sains Data dan Informasi (PRSDI) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mempresentasikan hasil risetnya berjudul “A Comparison of SAR, SEM and SARMA Models Towards Pneumonia Spread in West Java” pada ajang The International Conference on Informatics, Control, and Intelligent Systems (IC3INA) 2025, yang digelar pada Rabu (15/10).
Dalam paparannya, Rheza menjelaskan bahwa penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketertarikannya terhadap pemodelan spasial dan temporal untuk memahami pola penyebaran penyakit menular.
“Saya memilih kasus pneumonia karena Jawa Barat memiliki jumlah kasus tertinggi di Indonesia,” ujar Rheza, yang tergabung dalam kelompok riset Information Retrieval di PRSDI BRIN.
Rheza, bersama peneliti dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, menggunakan tiga model analisis spasial: Spatial Autoregressive Model (SAR), Spatial Error Model (SEM), dan Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA). Data yang digunakan meliputi jumlah kasus pneumonia bulanan sepanjang 2023 di 27 kabupaten/kota di Jawa Barat, dengan enam variabel lingkungan yaitu curah hujan, kelembaban, suhu, karbon monoksida, PM2.5, dan SO₂.
Hasil riset menunjukkan bahwa model SARMA merupakan model paling akurat berdasarkan nilai Akaike Information Criterion (AIC) dan jumlah koefisien signifikan.
“Faktor yang paling berpengaruh terhadap peningkatan kasus pneumonia adalah kelembaban udara, suhu, dan polusi PM2.5,” jelas Rheza.
Ia menambahkan, peningkatan kasus pneumonia paling tinggi terjadi pada musim hujan, antara September hingga Desember 2023, terutama di wilayah Kota Bandung, Bogor, dan Bekasi.
Rheza berharap riset ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan rentang waktu data yang lebih panjang, model yang lebih kompleks, serta penambahan variabel lingkungan dan sosial untuk memberikan gambaran yang lebih menyeluruh tentang penyebaran penyakit.
Konferensi IC3INA 2025 mengusung tema “From Data to Knowledge: The Convergence of Open Linked Data, Big Data, and AI.” Acara tahunan BRIN ini menjadi wadah berbagi hasil riset, memperkuat kolaborasi lintas lembaga, serta mendorong integrasi antara data terbuka, big data, dan kecerdasan buatan (AI) untuk menghasilkan pengetahuan yang berdampak luas.
Kepala Organisasi Riset Elektronika dan Informatika (OREI) BRIN, Budi Prawara, menegaskan pentingnya membangun masyarakat pengetahuan yang inklusif.
“Teknologi seperti data dan AI bukanlah tujuan akhir, tetapi sarana untuk mencapai kemajuan berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan manusia,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala PRSDI BRIN, Esa Prakasa, menyampaikan harapannya agar IC3INA terus menjadi forum ilmiah yang memperkuat jejaring riset nasional dan internasional.
“Ke depan, kami akan menghadirkan lebih banyak pakar global agar diskusi ilmiah semakin kaya dan posisi IC3INA semakin kuat sebagai platform strategis dalam pengembangan riset digital,” pungkasnya.
Baca juga :



