Search
Close this search box.

Revisi UU Pemilu Mendesak Dilakukan

Jakarta, SenayanTalks – Dalam rangka memperingati hari jadinya yang ke-13, Populi Center menyelenggarakan Forum Populi bertajuk “Revisi UU Pemilu: Tata Kelola Demokrasi Partisipatif Berbasis Inovasi”. Diskusi ini menjadi ruang kolaboratif yang menghadirkan pemangku kepentingan dari pemerintah, DPR, akademisi, pegiat teknologi, hingga masyarakat sipil untuk membahas arah Revisi UU Pemilu 2025.

Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, menyampaikan melalui sambungan daring bahwa pemerintah memilih pendekatan kodifikasi, bukan omnibus law, dalam menyusun RUU Pemilu. Tujuannya untuk menyatukan UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik ke dalam satu kerangka hukum terpadu dan sistematis.

“Revisi ini bukan hanya teknis, tetapi harus memperkuat sistem presidensial, kualitas representasi, dan sesuai dengan semangat otonomi daerah,” ujar Bima.

Ia menegaskan bahwa kodifikasi bertujuan membenahi isu-isu strategis seperti keserentakan pemilu, sistem kepartaian, pendanaan politik, serta integrasi bangsa, dengan tetap mengacu pada RPJMN.

Zulfikar Arse Sadikin, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, menanggapi bahwa revisi UU Pemilu harus diarahkan untuk memperkuat demokrasi substansial, bukan hanya kepentingan elite politik.

“Pengalaman pemilu sebelumnya harus menjadi acuan. Kita harus menetapkan tujuan yang jelas dan memperbaiki kualitas demokrasi, bukan sekadar mengatur jumlah partai di DPR,” kata Zulfikar.

Founder Pemilu AI, Yose Rizal, menyoroti pentingnya pengaturan penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam proses pemilu, terutama untuk efektivitas, efisiensi, transparansi, dan pengawasan.

“AI bisa mengolah jutaan data dengan cepat untuk strategi kampanye. Tantangannya memang ada, tetapi kita jangan hanya fokus pada risiko, manfaatnya juga harus diraih,” ujar Yose.

Direktur BRIN, Moch Nurhasim, menilai kodifikasi menjadi metode penting untuk menyelaraskan prinsip-prinsip dasar antara pemilu dan pilkada, guna menghindari kepincangan norma.

“Kalau tidak ada penyelarasan, maka akan terjadi ketidakseimbangan antar sistem dan aturan yang bisa merugikan proses demokrasi,” tegasnya.

Direktur Eksekutif Populi Center, Afrimadona, menambahkan bahwa selama ini pembicaraan antara pegiat teknologi dan penggiat kepemiluan berjalan sendiri-sendiri. Ia menekankan pentingnya membangun aturan hukum yang jelas terkait penggunaan teknologi dalam pemilu.

“Teknologi bisa menyelesaikan banyak masalah integritas dalam demokrasi, tetapi tetap perlu sistem pengawasan, audit, dan regulasi yang adil,” ujarnya.

Perludem: Revisi UU Pemilu Harus Rampung Sebelum 2026
Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, mengingatkan bahwa pembahasan RUU Pemilu belum menunjukkan kemajuan signifikan meski sudah masuk Prolegnas 2025.

“Revisi UU ini harus selesai maksimal tahun 2026 agar penyelenggara dan peserta Pemilu 2029 bisa menyesuaikan diri,” ujarnya.

Ia menambahkan, penggunaan teknologi dalam pemilu penting untuk meningkatkan kepercayaan publik (public trust), tetapi harus disiapkan dari sisi kerangka hukum, SDM, dan tata kelola teknologi.

Peneliti Populi Center: Reformasi Demokrasi Butuh Inovasi Struktural
Peneliti Senior Populi Center, Usep Saepul Ahyar, menyatakan bahwa revisi UU Pemilu perlu didorong oleh inovasi pemikiran, reformasi struktur, serta aktor politik yang progresif.

“Demokrasi digital juga punya tantangan. Kita harus perbaiki kultur, struktur, dan regulasi agar teknologi benar-benar membawa perubahan positif,” tegasnya.

Artikel Terkait