“Tata kelola transportasi yang baik bukan hanya soal menyediakan angkutan umum yang layak, tapi juga membatasi dominasi kendaraan pribadi. ERP adalah alat paling efektif untuk itu.”
Angin segar bagi masa depan transportasi Jakarta mulai berembus ketika Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, mengumumkan rencananya untuk menaikkan tarif parkir kendaraan pribadi. Kebijakan ini bukan sekadar soal menambah biaya parkir, melainkan bagian dari langkah awal untuk menekan dominasi mobil pribadi dan mendorong masyarakat beralih ke angkutan umum. Tak hanya itu, Gubernur juga menggulirkan kembali wacana penerapan Electronic Road Pricing (ERP) atau sistem jalan berbayar elektronik sebagai salah satu solusi jangka panjang untuk mengurangi kemacetan di ibu kota.
ERP sebenarnya bukan ide baru. Jakarta telah merencanakan sistem jalan berbayar ini sejak lebih dari 20 tahun lalu. Sayangnya, hingga kini penerapannya tak kunjung terlaksana. Berbagai kendala terus membayangi, mulai dari persoalan regulasi, kesiapan teknis, hingga kekhawatiran penolakan dari sebagian masyarakat. Padahal, jika kita menengok kota-kota besar seperti Singapura, London, dan Stockholm, sistem ERP terbukti ampuh menekan kemacetan sekaligus menciptakan tata kelola lalu lintas yang lebih tertib dan efisien.
Singapura, misalnya, meskipun telah memiliki sistem transportasi umum yang sangat baik dan terintegrasi, pemerintah tetap menerapkan sistem road pricing untuk mengendalikan volume lalu lintas. Setiap pengendara yang melintasi kawasan padat pada jam-jam sibuk dikenakan biaya tambahan. Hasilnya? Lalu lintas menjadi lebih terkendali, dan masyarakat terdorong untuk benar-benar mempertimbangkan secara matang sebelum bepergian dengan mobil pribadi.
Ganjil Genap dan 3-in-1 Bisa Dicurangi, ERP Tidak
Jakarta telah mencoba berbagai kebijakan untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi. Mulai dari sistem 3-in-1, yang malah melahirkan praktik joki pengisi kursi kosong, hingga ganjil genap, yang meskipun sempat efektif di awal, perlahan mulai kehilangan daya guna karena banyak pengguna yang mengakalinya. Entah dengan beli mobil kedua, pinjam plat nomor, atau bahkan memalsukan pelat.
Masalahnya, kedua kebijakan tersebut juga punya kelemahan yang cukup mendasar. Sistemnya kaku, tidak fleksibel terhadap situasi darurat, tidak adaftif terhadap variasi waktu dan rute perjalanan, serta tidak menghasilkan pendapatan yang bisa digunakan untuk membenahi sistem transportasi secara menyeluruh.
ERP menawarkan solusi yang lebih cerdas
Sebaliknya, ERP menawarkan pendekatan yang jauh lebih komprehensif.
Namun sebelum membahas lebih jauh soal keunggulan teknisnya, kita perlu kembali ke prinsip dasar tata kelola transportasi yang baik: sebuah kota dikatakan berhasil mengelola sistem transportasinya jika sebagian besar masyarakatnya lebih memilih menggunakan angkutan umum daripada mobil pribadi.
Sayangnya, sebagus dan senyaman apa pun layanan angkutan umum yang disediakan, fakta di lapangan menunjukkan bahwa orang tetap lebih memilih naik mobil pribadi karena lebih nyaman, fleksibel, dan prestisius. Di sinilah letak persoalan utamanya, kenyamanan mobil pribadi akan selalu menjadi daya tarik yang sulit dilawan jika tidak diimbangi dengan sistem pembatasan lalu lintas yang tegas.
Karena itu, kebijakan seperti Electronic Road Pricing (ERP) menjadi sangat penting. ERP adalah sistem pembatasan lalu lintas yang paling efektif, karena tidak hanya membatasi kendaraan pribadi dengan cara yang adil dan transparan, tapi juga mendorong perubahan perilaku secara perlahan namun pasti. Dari bebas menggunakan mobil pribadi kapan saja menjadi berpikir dua kali sebelum melintas di jalan padat, karena ada biaya yang harus ditanggung.
Pertama, sistem ini adil dan transparan. Prinsip dasarnya sederhana, siapa yang menggunakan jalan, dia yang membayar. Setiap kendaraan yang melintasi kawasan ERP dikenakan tarif tertentu. Sistem ini berbasis teknologi—menggunakan sensor dan kamera otomatis—sehingga proses pencatatan dan penarikan tarif berlangsung secara objektif, akurat, dan tidak bisa dimanipulasi secara manual. Inilah yang membuat ERP dinilai lebih transparan dibandingkan kebijakan pembatasan lalu lintas konvensional.
Kedua, ERP bersifat fleksibel, karena tidak mutlak melarang kendaraan melintas. Pengendara tetap bisa melewati ruas jalan berbayar kapan saja, asalkan bersedia membayar tarif yang ditetapkan. Jadi, berbeda dengan sistem ganjil genap yang membatasi berdasarkan hari dan nomor pelat, ERP memberikan pilihan. Dengan cara ini, pengaturan lalu lintas menjadi lebih adil dan tidak kaku. Mau lewat? Boleh, asal bayar. Ini memberi kebebasan sekaligus tanggung jawab pada pengendara.
Ketiga, ERP memberikan manfaat fiskal yang nyata. Pendapatan yang diperoleh dari sistem ini dapat digunakan untuk memperluas layanan transportasi publik, menyubsidi tarif angkutan umum agar tetap terjangkau bagi masyarakat, memperbaiki infrastruktur jalan serta halte. Dengan begitu, ERP tidak hanya membatasi kendaraan pribadi, tapi juga investasi untuk mobilitas Jakarta yang lebih baik.
Jakarta Sudah Lebih dari Siap untuk ERP
Banyak yang ragu, “Apakah Jakarta benar-benar siap menerapkan ERP?” Padahal, jika dilihat dari berbagai aspek, ibu kota sebenarnya “terlalu siap” untuk sistem ini.
Pertama, dasar hukum sudah jelas, ERP bukan wacana tanpa payung hukum. Aturannya sudah tercantum dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta diperkuat oleh Peraturan Pemerintah tentang manajemen dan rekayasa lalu lintas. Artinya, secara regulasi, tidak ada lagi alasan untuk menunda.
Kedua, dari sisi infrastruktur transportasi, Jakarta juga semakin siap. Kota ini telah memiliki jaringan transportasi yang terus berkembang, mulai dari MRT, LRT, TransJakarta, hingga JakLingko. Seluruh moda ini terintegrasi, baik secara fisik melalui titik-titik simpul perpindahan, maupun secara tarif melalui sistem pembayaran yang lebih praktis dan menyatu.
Ketiga, dari sisi teknologi, kesiapan Jakarta juga tak bisa dianggap remeh. Kita sudah terbiasa dengan pembayaran nontunai, baik untuk transportasi umum maupun transaksi harian lainnya. Kamera pengawas dan perangkat berbasis sensor juga sudah mulai digunakan untuk memantau lalu lintas secara real-time. Teknologi ini bisa dengan mudah diadaptasi untuk mendukung sistem ERP, mulai dari deteksi kendaraan hingga pencatatan transaksi secara otomatis.
Jika semua prasyarat tersebut sudah terpenuhi, maka hambatan terbesar dalam penerapan ERP saat ini bukan lagi soal teknis. Tantangan utama kini adalah faktor politik dan sosial, yakni keberanian pengambil kebijakan untuk bertindak, serta kesiapan masyarakat untuk menerima perubahan.
Siapa yang Mungkin Menolak ERP? Ini Alasannya
Seperti halnya kebijakan publik lainnya, penerapan ERP tentu tidak bebas dari penolakan. Beberapa kelompok ini mungkin akan paling vokal menyuarakan keberatan. Pertama, Pemilik mobil pribadi dari kelas menengah ke atas, yang merasa sudah membayar pajak kendaraan dan BBM. Bagi mereka, tarif ERP dianggap sebagai pajak ganda yang tidak adil, seolah harus membayar dua kali hanya untuk bisa menggunakan jalan yang sama.
Kedua, pengemudi ojek daring (online) dan pengusaha logistik kecil. Mereka khawatir, jika ERP juga diberlakukan untuk kendaraan roda dua atau kendaraan niaga ringan, maka biaya operasional mereka akan meningkat. Bagi kelompok ini, tambahan beban biaya bisa menggerus profit harian yang sudah tipis.
Ketiga, politisi yang takut kehilangan suara. Penolakan dari kelompok ini biasanya muncul karena kekhawatiran akan risiko elektabilitas, mereka cenderung menghindari kebijakan tidak populer. Mereka khawatir dukungan publik menurun jika terlihat mendukung kebijakan yang dianggap “membebani rakyat.” Padahal, kebijakan seperti ERP justru berpihak pada kepentingan jangka panjang kota dan warganya secara keseluruhan.
Keempat, sebagian masyarakat umum yang belum mendapatkan informasi yang utuh tentang tujuan dan mekanisme ERP. Kelompok ini rentan terpengaruh oleh narasi yang menyesatkan, seperti anggapan bahwa masyarakat sudah bayar pajak kendaraan, jadi tidak seharusnya dikenai biaya lagi saat menggunakan jalan. Ada juga yang mengira kebijakan ini akan membuat semua kebutuhan jadi lebih mahal, atau bahkan ini sekadar akal-akalan pemerintah untuk mencari uang dari rakyat. Tanpa edukasi publik yang memadai, kesalahpahaman semacam ini bisa menyebar luas dan memicu penolakan terhadap kebijakan yang sebenarnya dirancang untuk kepentingan bersama.
Memahami resistensi dari berbagai kelompok ini penting, bukan untuk menyalahkan, tapi untuk menjawab kekhawatiran mereka secara terbuka dan argumentatif. Pemerintah perlu menjelaskan bahwa ERP bukan pajak tambahan, melainkan mekanisme pengelolaan ruang jalan secara adil, di mana biaya kemacetan tidak lagi ditanggung bersama, tapi oleh mereka yang memilih tetap menggunakan kendaraan pribadi.
Inklusif, mempertimbangkan keringanan untuk kelompok rentan. Dengan pendekatan komunikasi yang jujur dan empatik, penolakan bisa diubah menjadi dukungan.
Pada akhirnya, ERP ini bukan untuk menghukum pengendara, tapi untuk menyelamatkan masa depan kota Jakarta yang kita tinggali bersama. Perubahan selalu ditakutkan pada awalnya, tapi bisa diterima ketika manfaatnya terlihat jelas.
Mau Jakarta Lebih Baik? Jangan Hanya Jadi Penonton
Sudah terlalu lama rencana penerapan pembatasan kendaraan pribadi melalui ERP, tapi sampai kapan Cuma jadi wacana? Sementara itu, kemacetan terus memburuk dari tahun ke tahun, polusi udara makin tinggi, dan angkutan umum yang seharusnya menjadi solusi justru ikut tersendat di jalan yang sama. Lama-lama, siapa mau beralih ke angkutan umum kalau kondisinya tak kunjung membaik?
Padahal, semua prasyarat untuk menerapkan ERP sudah tersedia: regulasinya jelas, infrastruktur transportasi publik terus berkembang, teknologi sudah siap. Yang kurang hanyalah kemauan politik dan tekanan publik.
Pemerintah memang pengambil keputusan, tapi masyarakat tak boleh lepas tangan, dan hanya menjadi penonton sambil mengeluh. Warga yang peduli harus ikut mendorong kebijakan yang benar, untuk Jakarta yang lebih tertib, sehat, dan manusiawi. Sudah waktunya masyarakat sipil, akademisi, komunitas transportasi, dan media mendesak Gubernur dan DPRD untuk segera mengambil langkah nyata menerapkan ERP.
Waktunya Melangkah
ERP bukan sekadar alat untuk membatasi kendaraan pribadi, bukan sekadar soal bayar atau tidak bayar. Ini tentang menentukan masa depan Jakarta, apakah kita mau terus tenggelam dalam kemacetan, atau mulai membangun kota yang lebih manusiawi, kota yang memberi ruang jalan yang lebih adil untuk semua, mendorong mobilitas yang ramah lingkungan, dan membangun masa depan transportasi umum yang nyaman dan berkelanjutan.
Memang, tak semua orang akan langsung setuju. Tapi seperti banyak kebijakan penting lainnya, contohnya TransJakarta busway yang dulu banyak diragukan, bahkan dibilang bakal gagal total. Nyatanya? Sekarang busway jadi tulang punggung transportasi ibukota.
Kuncinya, berani untuk memulai, tidak perlu menunggu sempurna diawal, lalu sambil terus diperbaiki dan disempurnakan pelan-pelan.
Pertanyaannya, kita mau mulai sekarang, atau mau menunggu sampai macet total melumpuhkan kota ini?
*Muhammad Akbar, Pemerhati Transportasi